Makassar – TV kabel
memiliki peluang bisnis yang cukup besar dalam memberikan
hiburan dan informasi kepada masyarakat, sehingga persaingan
bisnispun akan terjadi. Agar tontonan tersebut dapat mendidik dan berkualitas,
serta tidak terjadi gesekan antar sesame pengusaha TV kabel, maka keberadaanya
memang pelu diatur.
Pemilik Prima Vision (TV kabel pertama di
Makassar) yang
juga sebagai Ketua Asosiasi Pengusaha TV kabel Sulawesi Selatan Rahman Halid
mengatakan, TV kabel ini kalau tidak diatur maka akan
menjadi bom waktu. Sehingga harua ada standar operasional prosedurnya
(SOP) perizinanya, isi siaran, wilayah oprasi, dan
yang lainnya.
Mengingat perkembangan TV kabel ini sangat pesat,
sehingga menjadi salah satu pilihan bisnis masyarakat, bahkan keberadaan TV
kabel di daerah itu dinilai sudah menjadi industry rumah tangga. Karena
keberadaannya sampai ketingkat kecamatan, sehingga satu kecamatan minimal ada
satu pengusaha TV Kabel, ujarnya.
Karena untuk usaha TV kabel yang sekala kecil, itu
hanya memerlukan modal
awal sekitar Rp30-40 juta saja.
Melihat peluang dan tantangan mengenai keberadaan TV
kabel di daerah itu, sehingga Pemerintah Daerah membuat Perda mengenai TV kabel
dan dititik beratkan pada pengaturan dan pengawasan, sehingga tidak ada
retribusi dan hanya dikenakan pajak 10 persen untuk
PPN.
Ini menjadi penting, mengingat TV kabel ini juga menyerap
tenaga kerja, membantu memberikan informasi dan hiburan kepada masyarakat,
terutama di daerah-daerah yang blengspot. Disisi lain isi siaran tersebut diharapkan
dapat berkualitas dan mendidik.
Sementara pengusaha TV kabel tersebut ada yang sudah
mengatongi izin, namun ada juga yang belum. Untuk itu, Pemerintah dirasa perlu untuk melakukan pembinaan
atau merangkul para pengusaha TV kabel tersebut, mengingat regulasi yang ada
saat ini dinilai masih belum cukup untuk mengatasi berbagai persoalan mengenai TV
kabel yang ada saat ini, ujarnya.
Terpisah, Ketua KPID Provinsi Sulawesi Selatan Rusdin
Tompo mengatakan, problem terbesar TV kabel adalah pada legalitas lembaga
penyiarannya, legalitas kontenya, dan tidak kalah pentingnya adalah keberdaan
konten-konten yang bisa bertentangan dengan nilai-nilai kesopanan, kesusilaan,
dan kearipan lokal, “inilah, maka Perda mengeni TV kabel itu diperlukan,”
tegasnya.
Selain beberapa hal tersebut, namun yang lebih penting
adalah soal peta wilayah layanan, karena di dalam UU penyiaran maupun PP
52/2005 tentang penyelenggaraan peyiaran lembaga penyiaran berlangganan serta
Permen yang mengatur tentang itu dinilai tidak cukup jelas
mengenai peta wilayah layanan, lanjutnya.
Namun yang masih menjadi kendala utama dan terjadi disemua daerah adalah mengenai sensor internal dari lembaga penyiaran tersebut, mengingat itu memerlukan peralatan tertentu dan diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang memadai untuk itu, ujarnya.
Namun yang masih menjadi kendala utama dan terjadi disemua daerah adalah mengenai sensor internal dari lembaga penyiaran tersebut, mengingat itu memerlukan peralatan tertentu dan diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang memadai untuk itu, ujarnya.
Sementara Ketua KPID Kalteng Jhon Retei Alfrisandi juga
mengatakan hal yang serupa, bahkan untuk sensor internal
oleh lembaga penyiaaran dinilai cukup sulit, sehingga pihaknya mendorong agar sensor tersebut dilakukan oleh content
provider.
Disisi lain, kewenangan KPID juga sangat terbatas,
karena pihaknya hanya bias menegur. Sementara untuk TV Nasional, pihaknya hanya
bias menegur, itupun hanya yang terkait 10 persen mengenai siaran lokal “KPID tidak ada kewenangan
untuk mencabut,” tegasnya.dkw