Jumat, 11 November 2011

Perusahaan Terindikasi Rambah Hutan


08-11-2011 00:00
Harian Umum Tabengan,  
PALANGKA RAYA
Perusahaan yang beroperasi di Desa Bereng Rambang, Kahayan Tengah, selain bersengketa lahan dengan masyarakat, ternyata juga diindikasikan merambah hutan produksi.
Selain terjadi sengketa lahan dengan masyarakat, perusahaan yang beroperasi di Desa Bereng Rambang, Kecamatan Kahayan Tengah, Kabupaten Pulang Pisau, terindikasi telah merambah hutan di wilayah desa tersebut.
Hal itu terungkap dari hasil peninjauan Dinas Kehutanan (Dishut) Kalteng, Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan anggota DPRD Kalteng, Senin (7/11). Peninjauan tersebut membuat masyarakat Bereng Rambang, yang sebelumnya mengadu ke DPRD Kalteng, dapat sedikit bernafas lega.
Ketua Komisi A DPRD Kalteng Yohanes Freddy Ering mengatakan, peninjauan lapangan tersebut sebagai tindak lanjut terhadap pengaduan masyarakat Bereng Rambang kepada DPRD Kalteng, Rabu, 19 Oktober 2011, tentang dugaan pencaplokan lahan warga oleh Nego J Abel dan kawan-kawan.
“Kita dari DPRD Kalteng tadi hanya mendampingi dan ingin memantau secara langsung pengaduan dari masyarakat Bereng Rambang, ternyata apa yang disampaikan masyarakat tersebut benar adanya,” kata Freddy kepada Tabengan yang diamini Imam Mardhani, Iber H Nahason dan Lina Ningsih, yang juga turut serta dalam peninjauan ke lapangan tersebut.
Menurut Freddy, selain diduga menyerobot tanah warga desa, dengan membuat surat keputusan tentang penetapan pejabat penerbit surat keterangan sah kayu bulat (P2SKSKB) kayu rakyat mengatasnamakan masyarakat desa tersebut, juga terindikasi telah merambah hutan, yang ke depannya dikhawatirkan mengganggu ekosistem wilayah setempat.
“Berdasarkan pengamatan kita, jelas sekali akibat ulah oknum tersebut ada yang dirugikan, terutama warga setempat. Selain itu, beberapa oknum tersebut juga terindikasi telah merambah kawasan hutan,” tambah Freddy.
Legislator senior dari PDI Perjuangan ini menjelaskan, meskipun sudah ada aksi masyarakat dengan mengadu ke DPRD Kalteng, namun ternyata perusahaan tersebut masih melakukan aktivitas. Di lokasi terdapat bandsaw, jalur rel untuk pengangkutan kayu, jalan, dan membangun berbagai fasilitas pendukung aktivitasnya.
Karena hal itu diindikasikan telah merambah hutan, Freddy meminta pemerintah segera menyelidiki keberadaan perusahaan tersebut. “Kita minta kepada pihak aparat untuk dapat serius dalam melakukan penyelidikan ini, karena berdasarkan penilaian kita, perbuatan oknum tersebut diduga ada bentuk pidananya,” kata Freddy.
Freddy menambahkan, kedatangan rombongan peninjauan tersebut mendapat sambutan hangat dari warga, kepala desa maupun perangkat Desa Bereng Rambang.
Rudy Naik, jurubicara warga Desa Bereng Rambang mengatakan, sejumlah tanah adat masyarakat setempat dikuasai oleh Nego J Abel bersama rekan-rekannya. Penguasaan tanah adat dan hutan desa tersebut dilakukan tanpa berkoordinasi dengan aparat atau kepala desa setempat. Luas lahan yang dikuasai tersebut sekitar 1.000 hektare, yang dibuka lebih secara bertahap.
Untuk mendukung aktivitas dengan pembukaan lahan tersebut, Nego dan rekan-rekannya juga telah mendirikan Koperasi Bukit Rambang, Bandsaw UD Setia, dan memasukkan PT Jatayu. “Itu merupakan salah satu sarana Nego untuk mengapling dan memperluas penguasaan hutan/lahan, yang mana kegiatan tersebut telah merusak habitat hutan,” katanya.
Selain itu, tanda tangan Kepala Dinas Kehutanan (Dishut) Kalteng Sipet Hermanto diduga dipalsukan dalam SK tentang P2SKSKB kayu rakyat.
Sipet yang juga turut meninjau ke lapangan mengatakan, pihaknya terus melakukan pemeriksaan mengenai surat tersebut. Apabila kemungkinan ada pemalsuan, akan dilaporkan kepada pihak kepolisian. Terbitnya surat bernomor 522.2.221/118/Dishut, 11 Januari 2011, dengan tanda tangan Kedishut Kalteng Sipet Hermanto tersebut, menimbulkan keresahan warga Desa Bereng Rambang.
Saat diwawancarai di kantornya, kemarin, Sipet menegaskan, dari hasil pengecekan di lapangan, secara umum dengan menggunakan global positioning system (GPS), lokasi kegiatan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) tanah milik yang diadukan oleh warga Bereng Rambang ke DPRD Kalteng beberapa waktu lalu, terindikasi berada di kawasan hutan produksi.
Apabila memang terbukti kegiatan tersebut berada di lokasi hutan produksi, akan diproses sesuai ketentuan dan peraturan yang berlaku dan dilimpahkan kepada pihak Polda Kalteng. “Kalau memang terindikasi industri yang ada di sana melakukan pengolahan berasal dari kayu-kayu ilegal, tidak menutup kemungkinan juga akan kami usulkan kepada Gubernur untuk dicabut izin industrinya,” tegas Sipet.
Ia menjelaskan, dalam pengecekan itu pihaknya lebih pada menyangkut fungsi kawasan, baik lokasi industri maupun lokasi IPK tanah milik dengan aspek legal formal sertifikat tanah milik kelompok masyarakat tersebut.
Namun berdasarkan tinjauan di lapangan, lokasi kegiatan IPK tanah milik tersebut berada pada hutan produksi, baik dari segi Perda No.8/2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalteng maupun pada lampiran peta SK Menteri Kehutanan No.292/menhut-II/2011, tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan.
Melihat kondisi itu, kata Sipet, pekan ini akan diturunkan tim terpadu, terdiri dari tim teknis Dishut Kalteng, dalam hal ini Subdin Perlindungan dan Keamanan Hutan serta Subdin Perencanaan, didampingi Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat (SPORC) BKSDA Kalteng untuk memastikan indikasi tersebut.
Seandainya nanti dari hasil tim terpadu tersebut membenarkan di lokasi  IPK tanah milik tersebut berada pada hutan produksi, untuk menentukan siapa yang paling bertanggung jawab atas kejadian itu menjadi tugas dari pihak kepolisian. Baik melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk penetapan status barang bukti dan tersangkanya. sgh/dkw

PBS Kuasai 95 Persen Lahan


Pemerintah Harus Aktif Pulihkan Lingkungan
Lahan di kalteng lebih banyak di kuasai perusahaan besar swasta (PBS) di banding rakyat biasa. Cermin ketidakadilan distribusi tanah untuk warga Negara.
PALANGKA RAYA, Tabengan : Organisasi lingkungan hidup Save Our Borneo (SOB) menengarai penguasaan lahan di kalteng tidak mencerminkan asas keadilan bagi rakyat. “Total luas izin perkebunan besar swasta di kalteng saat ini sama sekali tidak mencerminkan keadilan distribusi aset alam dan keadilan distribusi alat produksi berupa tanah untuk warga Negara”. Kata coordinator SOB Nordin dalam rilisnya yang di terima oleh Tabengan, minggu( 17/10).
Sebanyak 4,65 juta hektar  kawasan Kalteng sudah di berikan izin untuk perkebunan besar swasta (PBS), 95 pesen diantaranya merupakan kelapa sawit, dari 4,65 juta hektar tersebut, 2,574 juta hektar sudah operasional dan bahkan panen buah sisanya, 2,574 juta hektar belum operasional, namun sudah dinyatakan sebagai milik 205 pengusaha kelapa sawit.
Sayangnya, dari keseluruhan yang diberikan untuk perkebunan tersebut, bila berdasarkan tata guna hutan kesepakatan (TGHK), sebanyak 3,926 juta hektar merupakan kawasan hutan. Jika berdasarkan rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) 2003, seluas 1,710 hektar berada dalam kawasan hutan, baik hutan lindung (HL), hutan produksi (HP), hutan produksi terbatas (HPT), maupun hutan produksi yang dapat di konversi (HPK).
“ Berdasarkan TGHK, kawasan hutan yang sudah di rambah untuk perkebunan kelapa sawit (aktif)  mencapai 1,664 juta hektar. Sementara, jika berdasarkan RTRWP 2003, seluas kurang lebih 365.000,” kata Nordin yang juga anggota Dewan Nasional Walhi ini.
Mengacu pada TGHK, pelepasan kawasan hutan yang di berikan oleh Menteri Kehutanan (Menhut) sampai tahun 2010 ini hanya 553.000 hektar. Dengan demikiana da 1,1 juta hektar lahan yang sudah digarap tersebut tanpa ijin pelepasan kawasan hutan (IPKH) dari Menhut.
SOB menyayangkan sikap pemerintah yang menutup mata terhadap aktivitas penjarahan terstruktur pada kawasan-kawasan hutan di Kalteng dan melakukan pembiaran atas terjadinya tindak kejahatan kehutanan.
“SOB meminta kejahatan-kejahatan kehutanan oleh perusahaan perkebuanan kelapa sawit segera dambil langkah hukum tanpa kompromi. Jika tidak sama saja pemerintah dan aparat hokum adalah bagian dari pelanggar,” tegas Nordin.
Tanggung Jawab Pemerintah
Nordin menilai pemerintah harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan saat ini, karena telah menerbitkan beberapa peraturan dan izin yang tidak berwawasan lingkungan. Meskipun kerusakan hutan menjadi tanggung jawab bersama, namun yang menerbitkan peraturan, ijin tambang, ijin perkebunan, dan hak pengusahaan hutan (HPH)  adalah pemerintah. Karena itu, pemerintah harus berperan aktif memulihkan lingkungan.
Menurut Nordin, sampai saat ini kebijakan Negara belum mengutamakan pengelolaan lingkungan, Sumber Daya Alam (SDA), dan asset-aset kehidupan masyarakat. Ini dapat terlihat dari banyaknya SDA yang seharusnya menjadi sumber penting bagi kehidupan rakyat dan dapat didistribusaikan secara adil, namun hingga kini belum terlaksana dengan baik.
“Ini terjadi bukan hanya karena pemerintahannya, namun juga kebijakan Negara yang tidak berorientasi terhadap keadilan distribusi aset alam bagi kesejahteraan warga negaranya,” kata Nordin.
Nordin menilai, meskipun pengerusakan tetap berlangsung dan bencana terus terjadi, namun langkah tegas dan proses rehabilitasi hutan dan lingkungan hanya dilakukan untuk sementara dan seadanya. Menyikapi kondisi tersebut, sebagai leading sektor, pemerintah harus melakukan perubahan aturan. “Kami mendesak pemerintah membenahi pengelolaan asset alam dan sumber-sumber kehidupan rakyat ini secara lebih adil,” ujar Nordin.
Senada dengan itu, Arie Rompas, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indoneisa (Walhi) Kalteng mengatakan, bencana alam, lingkungan dan bencana ekologi terus terjadi. Hal tersebut menunjukan negeri ini sedang sakit. “Seharusnya kebijakan pemerintah atau politik dialihkan untuk keselamatan alam dan masyarakat,” kata Arie saat sarasehan dalam rangka 3 dekade Walhi di Aula Makarti Muktitama, Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Kalteng, belum lama ini.
Pemerintah wajib melindungi hak-hak rakyat melalui pengelolaan kebijakan lingkungan yang lebih adil dan menempatkannya diatas segalanya. Bahkan di Kalteng sendiri, akibat pengerusakan lingkungan, ketika hujan selalu kebanjiran, kmarau selalu kebakaran dan kabut asap, sehingga kualitas kehidupan masyarakatpun menurun.
Masih Diblokir
Di bagian lain, sudah sepekan ini warga Desa Timpah, Kabupaten Kapuas, meblokir jalan menuju lahan perkebunan sawit PT. Kahayan  Agro Lestari (KAL). Pemblokiran ini terjadi karena pihak perusahaan belum menyelesaikan masalah pembebasan lahan, termasuk janji akan akan melibatkan warga dalam perkebunan plasma.
Kasus ini disinyalir akan berlarut-larut, sebab pihak perusahaan telah menjual sahamnya kepada investor lain. Dugaan ini dikuatkan dengan kedatangan Tomas, pihak perusahaan yang ingin masuk keareal perkebunan, namun dihadang warga. Hal ini sesuai juga dengan pengakuan Yono, penanggungjawab bagian Divisi I PT. KAL.
Meski tidak terang-terangan, kepada Tabengan Yono mengatakan, perusahaan telah take over (beralih tangan) dari pemilik awal ke yang baru. Sebelumnya, ketika dihubungi via telepon, Direktur PT. KAL Tomi T belum bisa menanggapi aksi warga memblokir jalan menuju perkebunan sawitnya. Dia mengaku saat ini sedang keluar kota, sehingga belum mengetahui masalah sebenarnya. Dia baru mendapat informasi dari anak buahnya mengenai permasalahan di perusahaan.
Kepala Desa Timpah Seko Winarno mengatakan, dalam minggu ini, perusahaan berjanji mengadakan pertemuan dengan warga difasilitasi pehak Kecamatan dan Kades setempat untuk membicarakan permasalahan yang terjadi. Str/dkw/and