Kamis, 12 Desember 2013

Hutan di Indonesia Alami Kerusakan yang Siknipikan



BP2HP Wilayah XII Palangka Raya Gelar Sosialisasi UU No 18/2013
PALANGKA RAYA – Kepala Bagian Perundang-undangan Pada Biro Hukum Kementerian Kehutanan Baes Sunirdja, saat ditemui di sela-sela sosialisai UU No 18/2013 dan Permenhut No P.14/MENHUT-II/2013 Jo P.18/ENHUT-II/2011, di hotel Aquarius, Senin (9/12) kepada wartawan mengatakan, saat ini hutan di berbagai belahan Indonesia alami kerusakan yang siknipikan.
Kerusakan hutan tersebut diakibatkan penebangan liar, pertambangan liar, dan juga dari sektor perkebunan yang tidak mengikuti aturan perundang-undangan yang berlaku. Atas dasar itu, maka kejahatan pengrusakan hutan itu dinilai menjadi kejahatan yang luar biasa, ungkapnya.
Untuk itu diperlukan sebuah peraturan perundang-undangan yang memperkuat baik dari segi penegakan hukum, koordinasi, dan sanksinya sehingga memberikan epek jera kepada para pelaku pengrusakan hutan.
Diungkapkanya antara UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan UU No 41/1999 tentang kehutanan ini saling melengkapi dan mempertegas dari sanksinya. Mengingat dalam UU No 18/2013 tersebut, subjek pelakuknya ada tiga yaitu perorangan, korporasi, dan pejabat pemerintah.
Sehingga, kalau pejabat pemerintah tersebut keluar dari tupoksinya dan terjadi pengrusakan baik oleh pertambangan, perkebunan, penebang liar, pemegang izin dan tidak mau peduli atas kejadian itu, maka yang bersangkutan akan dikenai sanksi itu “sanksinya sangat berat, ada pidana dan denda,” tegasnya.
Sementara Sekretaris Daerah Provinsi Kalteng Siun Jarias dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan oleh staf ahli Gubernur bidang Pembangunan Brigong Tom M mengatakan, UU No 18/2013, dari 12 pasal yang mengatur ketentuan pidana, dua pasal hanya menambahkan mekanisme pemidanaan, dua pasal mengatur pidana yang dilakukan pejabat negara.
Selain itu, satu pasal mengenai kejahatan korporasi dan tujuh pasal mengatur pidana-pidana perbuatan langsung. Sehingga UU ini diperuntukan bagi para pelaku langsung atau pelaku tunggal suatu perusahaan, serta terdapat satu pasal mengenai kejahatan korporasi.
Di dalam UU itu tersebut juga ada pasalnya yang mengatur kedisiplinan pejabat yang lalai melaksanakan tugas dalam rangka kepentingan perusa hutan dan melindungi sumber informasi, ujarnya.
Sementara Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng Sipet Hermanto mengatakan, UU No 18/2013 merupakan UU yang ideal dalam rangka mendapatkan epek jera bagi para pelaku pengrusakan hutan.
Namun dengan terbitnya UU No 18/2013 tersebut, maka yang dibutuhkan oleh pelaku dunia usaha adalah penyelesaian pemantapan pungsi kawasan hutan yang ada dilapangan, baik batas pungsi maupun batas luar. Karena UU ini bisa berlaku efektif apabila pungsi kawasan hutan itu sudah mantap secara Nasional, ujarnya.
Hal ini sangat diperlukan terlebih apabila suatu saat nanti diminta untuk melakukan pembuktian dilapangan. Mengingat, kalau ada sengketa, maka akan dilakukan pembuktian lapangan dan sidang lapangan, serta diminta untuk menunjukan batas-batas yang ada dilapangan dengan patok-patok yang jelas, ungkapnya.
Ketua panitia Iman Lesmana dalam laporanya mengatakan, kegiatan ini dengan maksut untuk memberikan penjelasan tentang pemberlakukan UU No 18/2013 dan tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan Permenhut No P.14/MENHUT-II/2013 Jo P.18/ENHUT-II/2011 tentang perubahan peraturan Menhut No P.18/MENHUT-II tentang pinjam pakai kawasan hutan.
Sementara tujuan dari kegiatan ini adalah untuk terciptanya kecamaan pandang, pikiran, persepsi, dan pemahaman tentang UU No 18/2013 dan Permenhut No P.14/MENHUT-II/2013 Jo P.18/ENHUT-II/2011.
Kegiatan ini dilaksanakan selama dua hari yaitu 9-10 Desember yang diikuti sekitar 40 orang peserta yang berasal dari Pemerintah, UPT Kementerian, Akademisi, dan LSM, ujarnya.dkw