BP2HP
Wilayah XII Palangka Raya Gelar Sosialisasi UU No 18/2013
PALANGKA RAYA – Kepala Bagian
Perundang-undangan Pada Biro Hukum Kementerian Kehutanan Baes Sunirdja, saat
ditemui di sela-sela sosialisai UU No 18/2013 dan Permenhut No
P.14/MENHUT-II/2013 Jo P.18/ENHUT-II/2011, di hotel Aquarius, Senin (9/12) kepada
wartawan mengatakan, saat ini hutan di berbagai belahan Indonesia alami
kerusakan yang siknipikan.
Kerusakan
hutan tersebut diakibatkan penebangan liar, pertambangan liar, dan juga dari
sektor perkebunan yang tidak mengikuti aturan perundang-undangan yang berlaku.
Atas dasar itu, maka kejahatan pengrusakan hutan itu dinilai menjadi kejahatan
yang luar biasa, ungkapnya.
Untuk
itu diperlukan sebuah peraturan perundang-undangan yang memperkuat baik dari
segi penegakan hukum, koordinasi, dan sanksinya sehingga memberikan epek jera
kepada para pelaku pengrusakan hutan.
Diungkapkanya
antara UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
dengan UU No 41/1999 tentang kehutanan ini saling melengkapi dan mempertegas
dari sanksinya. Mengingat dalam UU No 18/2013 tersebut, subjek pelakuknya ada
tiga yaitu perorangan, korporasi, dan pejabat pemerintah.
Sehingga,
kalau pejabat pemerintah tersebut keluar dari tupoksinya dan terjadi
pengrusakan baik oleh pertambangan, perkebunan, penebang liar, pemegang izin dan
tidak mau peduli atas kejadian itu, maka yang bersangkutan akan dikenai sanksi
itu “sanksinya sangat berat, ada pidana dan denda,” tegasnya.
Sementara
Sekretaris Daerah Provinsi Kalteng Siun Jarias dalam sambutan tertulisnya yang
dibacakan oleh staf ahli Gubernur bidang Pembangunan Brigong Tom M mengatakan, UU
No 18/2013, dari 12 pasal yang mengatur ketentuan pidana, dua pasal hanya
menambahkan mekanisme pemidanaan, dua pasal mengatur pidana yang dilakukan
pejabat negara.
Selain
itu, satu pasal mengenai kejahatan korporasi dan tujuh pasal mengatur
pidana-pidana perbuatan langsung. Sehingga UU ini diperuntukan bagi para pelaku
langsung atau pelaku tunggal suatu perusahaan, serta terdapat satu pasal
mengenai kejahatan korporasi.
Di
dalam UU itu tersebut juga ada pasalnya yang mengatur kedisiplinan pejabat yang
lalai melaksanakan tugas dalam rangka kepentingan perusa hutan dan melindungi
sumber informasi, ujarnya.
Sementara
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng Sipet Hermanto mengatakan, UU No
18/2013 merupakan UU yang ideal dalam rangka mendapatkan epek jera bagi para
pelaku pengrusakan hutan.
Namun
dengan terbitnya UU No 18/2013 tersebut, maka yang dibutuhkan oleh pelaku dunia
usaha adalah penyelesaian pemantapan pungsi kawasan hutan yang ada dilapangan, baik
batas pungsi maupun batas luar. Karena UU ini bisa berlaku efektif apabila
pungsi kawasan hutan itu sudah mantap secara Nasional, ujarnya.
Hal
ini sangat diperlukan terlebih apabila suatu saat nanti diminta untuk melakukan
pembuktian dilapangan. Mengingat, kalau ada sengketa, maka akan dilakukan
pembuktian lapangan dan sidang lapangan, serta diminta untuk menunjukan
batas-batas yang ada dilapangan dengan patok-patok yang jelas, ungkapnya.
Ketua
panitia Iman Lesmana dalam laporanya mengatakan, kegiatan ini dengan maksut
untuk memberikan penjelasan tentang pemberlakukan UU No 18/2013 dan tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan Permenhut No
P.14/MENHUT-II/2013 Jo P.18/ENHUT-II/2011 tentang perubahan peraturan Menhut No
P.18/MENHUT-II tentang pinjam pakai kawasan hutan.
Sementara
tujuan dari kegiatan ini adalah untuk terciptanya kecamaan pandang, pikiran,
persepsi, dan pemahaman tentang UU No 18/2013 dan Permenhut No
P.14/MENHUT-II/2013 Jo P.18/ENHUT-II/2011.
Kegiatan ini dilaksanakan
selama dua hari yaitu 9-10 Desember yang diikuti sekitar 40 orang peserta yang
berasal dari Pemerintah, UPT Kementerian, Akademisi, dan LSM, ujarnya.dkw