Minggu, 03 April 2011

Masyarakat Adat Selalu Kalah

Rumah masyarakat di Kampung Nelayan di daerah Petak Puti
25-03-2011 00:00
Harian Umum Tabengan,  
PALANGKA RAYA,
Ironis, AMAN dengan 200 komunitas masyarakat adat tidak mempunyai jaminan pengakuan atas hak-haknya. Padahal, deklarasi PBB  mengakui keberadaan masyarakat adat. Perlu UU Perlindungan hak masyarakat adat.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng mencatat, sekitar 1.400 kasus konflik agraria selama 2009-2011 yang melibatkan komunitas adat di seluruh Indonesia, tidak satupun dimenangkan masyarakat adat.
Kekalahan komunitas adat ini, menurut Ketua Badan Pelaksana Harian AMAN Kalteng Simpun Sampurna, karena Undang-Undang yang mengatur tentang perlindungan hak masyarakat adat belum ada.
Di Kalteng, dari 15 kasus yang ditangani AMAN, hanya satu  yang berhasil diselesaikan untuk kemenangan komunitas adat. Dan, itu pun kasus kecil.  Lainnya, terutama kasus-kasus besar, tidak pernah bisa diselesaikan. Seandainya pun masuk ke pengadilan, komunitas adat selalu di pihak yang kalah.
Simpun memberi contoh terakhir kasus Wardian, warga Sembuluh, Kabupaten Seruyan. Wardian berjuang untuk mendapatkan tanah haknya, namun di depan hukum  kalah. Wardian malah mendekam di penjara.
“Tidak ada tempat bagi masyarakat adat tanpa payung hukum untuk melindungi hak-haknya,” kata Simpun usai pembukaan Seminar dan Lokakarya Konsultasi Wilayah Kalimantan Dalam Rangka Penyusunan UU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat di Aula Rahan Rektorat Universitas Palangka Raya, Kamis (24/3).
Ironis memang ketika 200 komunitas masyarakat adat yang berhimpun dalam AMAN tidak mempunyai jaminan tentang pengakuan terhadap hak-haknya. Padahal, pada 13 September 2007, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam deklarasinya mengakui keberadaan masyarakat adat.
Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada Hari Ulang Tahun Masyarakat Adat se-Dunia di Taman Mini Indonesia Indah, 9 Agustus 2006, malah sudah menekankan agar UU tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat  segera diterbitkan.
Sampai saat ini, tetap saja belum ada titik terang dari para pengambil kebijakan untuk merancang UU yang berkaitan dengan pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat.
Di Kalteng sudah ada Peraturan Gubernur (Pergub) dan Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang kelembagaan adat, hak-hak adat, dan tanah adat, namun belum cukup kuat untuk melindungi hak-hak masyarakat adat.
Pergub dan Perda tersebut harus didukung oleh aturan lebih tinggi berupa UU. Karena itu, dengan dibahasnya naskah akademik rancangan UU ini, diharapkan dapat memberikan kepastian, pengakuan, dan perlindungan hak masyarakat adat.
Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Daerah Kalteng Siun Jarias mengatakan, masyarakat adat merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang perlu mendapat perhatian.
Perhatian pemerintah terhadap pengakuan dan perlindungan masyarakat adat belum maksimal. Buktinya, belum adanya UU yang mengakui dan melindungi hak masyarakat adat tersebut. Padahal masyarakat adat sudah jauh sebelum Republik ini berdiri.
Terpinggirnya masyarakat adat di Kalteng, kata Teras, karena wilayah mereka sudah dimasuki perusahan-perusahaan kayu, perkebunan sawit, pertambangan, dan taman nasional.
Pembahasan naskah akademik tentang pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat di Palangka Raya, harap Teras, hendaknya dapat mencarikan jalan keluar permasalahan yang dihadapi masyarakat adat.
Menurut Pembantu Rektor I Universitas Palangka Raya Kumpiadi Widen, pembahasan naskah akademik  mencakup kepentingan masyarakat adat ecara nasional, sehingga hasil pembahasan diharapkan dapat membela masyarakat adat.
Berdasarkan resume rapat, untuk penanganan gangguan usaha perkebunan (GUP) Dinas Perkebunan Kalteng, 4 Maret 2011, Dewan Adat Dayak (DAD) saat ini menerima pengaduan masyarakat secara langsung, khusus mengenai GUP hampir 100 masalah.
Seharusnya, masalah bisa diselesaikan oleh pemberi izin, namun atas tuntutan masyarakat, DAD akhirnya ikut turun lmelakukan mediasi di tempat kejadian perkara (TKP).
DAD bersepakat membentuk tim kecil dengan fungsi menangani masalah sosialisasi norma, sistem, dan prosedur Selain itu, DAD mengarahkan  masyarakat agar melakukan pendekatan tuntutan pada bantuan penyediaan infrastruktur, pendidikan, sarana sosial (jangka pendek), dan menjadi plasma (jangka panjang).
Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPPI) menyatakan, pada prinsipnya pelaku usaha perkebunan pasti akan mengakomodir aturan legal formal dan adat. Sebagian pelaku usaha perkebunan mempunyai cara berbisnis tersendiri, sehingga ada yang melanggar aturan. Hal ini seharusnya bisa diselesaikan di daerah.dkw