Minggu, 03 April 2011

Adat dan Masyarakat Dayak Semakin Eksis

Foto bersama di Istana Isen Mulang dengan tamu dari Norwegia
29-01-2011 00:00
Harian Umum Tabengan,
PALANGKA RAYA, Saat ini penyelesaian perkara kerap dilakukan masyarakat dengan cara hukum adat. Namun, ini bukan bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum yang berlaku.
Penyelesaian persoalan dengan hukum adat Dayak saat ini semakin tren di tengah masyarakat Dayak. Hal ini terlihat dari adanya perkara yang sudah dan sedang diproses secara hukum adat akhir-akhir ini.
Kepala Kesbangpolinmas Kalteng Rigumi di ruang kerjanya, Jumat (28/1), kepada Tabengan menuturkan, penyelesaian sengketa dengan hukum adat Dayak akhir-akhir ini bentuk dari semakin eksisnya hukum adat dan masyarakat Dayak. Dan, ini bukan bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum positif.
Ia menilai, hukum adat dan hukum positif berjalan berdampingan. Masyarakat Dayak menyadari dan mengakui keberadaan hukum adat Dayak serta hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Namun, ini semata-mata hanya bentuk eksistensi dari hukum adat dan masyarakat Dayak sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi prinsip Belum Bahadat (hidup bertata kerama dan beradat) sebagai salah satu pilar dari filosofi Huma Betang (rumah betang).
Di sisi lain, aturan-aturan adat untuk menyelesaikan sebuah perkara tersebut sudah lama ada di kalangan masyarakat Dayak. Hanya saja, pada waktu-waktu yang sebelumnya dengan pengaruh kemajuan zaman, penerapannya di masyarakat agak sedikit mengalami kemunduran.
Adanya momen persidangan adat terhadap Prof Dr Thamrin Amal Tamagola beberapa waktu lalu, membuat masyarakat dan hukum adat Dayak semakin eksis untuk terus meningkatkan dan memperkuat adat istiadat serta hukum adat. Mengingat yang ingin dicapai dalam hukum adat Dayak adalah musyawarah dan mufakat.
“Saat ini yang diselesaikan secara hukum adat hanya persoalan-persoalan yang bertentangan dengan hukum adat dan persoalan hukum perdata. Sedangkan permasalahan yang berkaitan dengan pidana tetap ditangani aparat yang berwajib,” kata Rigumi.
Meski demikian, ia menilai untuk beberapa kasus pidana di antaranya perkelahian dan pencurian masih ada peluang diselesasikan secara adat. Karena, di dalam hukum positif juga mengutamakan perdamaian. Sehingga, kalau kedua belah pihak bisa didamaikan secara hukum adat, maka tidak harus diproses lagi secara hukum positif.
Ia juga sangat sepakat apabila semua persoalan terlebih dahulu diselesaikan secara adat dengan menggutamakan musyawarah untuk mufakat, ketika tidak dapat diselesaikan maka baru diproses secara hukum positif.
Ketua Umum Gerakan Pemuda Dayak Kalteng Yansen A Binti dalam kesempatan yang berbeda menyampaikan hal yang serupa. Penyelesaian beberapa perkara menggunakan hukum adat ini bukan bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum positif, namun ini menunjukan semakin tingginya kesadaran hukum masyarakat adat.
Selain itu, ia menilai hal tersebut merupakan bentuk kerinduan masyarakat Dayak untuk memaksimalkan peranan hukum adat yang sudah ada. Karena, hukum adat lebih mengutamakan rekonsiliasi dan akan berujung pada sebuah perdamaian.
Di dalam hukum adat Dayak, sendainya kedua belah pihak tidak bisa didamaikan, maka kedua belah akan disumpah secara hukum adat. Sehingga, kalau ada yang memberikan keterangan palsu, maka yang bersangkutan akan termakan sumpah tersebut sampai tujuh turunan dan akan berakibat orang tersebut meninggal dunia.
Pihaknya berharap agar semua persoalan dapat diselesaikan secara hukum adat, karen kalaupun harus diselesaikan secara hukum positif dan dijebloskan kepenjara, hal tersebut tidak menjadi jaminan untuk orang bisa jera dan berubah, namun justru malah sebaliknya.
Meskipun demikian, Yansen menyebutkan, untuk kasus korupsi dan kasus yang berkaitan dengan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lain (Napza) tidak dapat diselesaikan secara adat, karena hal tersebut berkaitan dengan mental seseorang.
Namun, untuk kasus pidana dan perdata lainya masih dapat diselesaikan secara hukum adat. Di antaranya kasus penembakan yang dilakukan oleh Brimob Kelapa Dua kepada para demonstran yang menyambut kedatangan Presiden Abdul Rahman Wahid di bundaran besar Palangka Raya pada 2001 yang lalu.
Meski ada yang meninggal dunia dan Komnas HAM juga sudah turun untuk meminta keterangan dari pihak, namun oleh Brigjen Lodewik Penyang, Kapolda Kalteng kala itu, mengambil terobosan baru untuk menyelesaikanya kasus tersebut secara adat.
Hal tersebut berhasil dilakukan, sehingga anggota Brimob dari Kelapa Dua yang melakukan penembakan tersebut tidak ada yang dipecat, dan sampai sekarang persoalan tersebut tidak pernah muncul lagi. Yansen menuturkan, hal tersebut sebagai contoh, hukum adat juga bisa menyelesaikan kasus-kasus pidana. dkw