Kamis, 27 Juni 2013

Produktivitas Kebun Karet Masih Rendah

Disbun Provinsi Kalteng menyebutkan penanganan budidaya dan pengolahan mutu hasil perkebunan karet, belum optimal. Ini menjadikan produktivitasnya menjadi rendah.
 
PALANGKA RAYA – Usaha perkebunan menjadi salah satu sektor primadona di Provinsi Kalteng. Bahkan, sektor ini mampu menyerap tenaga kerja lebih besar dibandingkan sektor-sektor lainnya. 
“Namun sayangnya, tingkat produktivitas di sektor perkebunan masih rendah. Salah satu penyebabnya adalah  penanganan budidaya dan pengolahan mutu hasil  yang belum optimal,” kata Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Provinsi Kalteng Rawing Rambang, pada pembukaan Pertemuan Penguatan Jaringan Pemasaran Kawasan Perkebunan Karet, di Hotel Luwansa, Palangka Raya, Kamis (27/6).
Ia menyebutkan, Provinsi Kalteng merupakan salah satu daerah potensial untuk pengembangan tanaman karet. Tamanan ini menjadi komoditi utama dan komoditi sosial yang digeluti secara turun-temurun oleh masyarakat di wilayah itu.
Hingga kini, luas areal tanaman karet di Provinsi Kalteng 485.716,12 hektare dengan jumlah produksi mencapai 256.195,37 ton karet kering. Kalau dihitung, tingkat produktivitas rata-rata di Kalteng mencapai 792-800 kg/hektare/tahun karet kering. 
“Luas areal karet tersebut didominasi oleh perkebunan rakyat. Sedangkan untuk perkebunan besar swasta (PBS) dan perseroan terbatas perkebunan atau perkebunan inti rakyat (PTP/ PIR), hanya sedikit,” kata Rawing pada pertemuan yang dihadiri puluhan peserta tersebut.
Sampai dengan 2013, terdapat 4  pabrik karet  atau crumb rubber di Kalteng. Masing-masing PT Sampit di Kabupaten Kotawaringin Timur, PT Karya Sejati di Kabupaten Kapuas,  PT Bumi Asri Pasaman di Kabupaten Barito Selatan, dan PT Borneo Makmur Lestari di Kota Palangka Raya. Keempat perusahaan tersebut memiliki kapasitas terpasang antara 100-300 ton bokar per hari.
Sementara untuk pengembangan pemasaran dalam negeri, lanjut Rawing, diarahkan bagi terciptanya mekanisme pasar yang berkeadilan serta sistem pemasaran yang efisien dan efektif. Selain itu, meningkatnya posisi tawar petani serta meningkatnya konsumsi terhadap produk pertanian Indonesia dan terpantaunya harga komditas hasil perkebunan.
Sedangkan untuk mewujudkan bahan olah karet rakyat (bokar) sesuai dengan standar persyaratan yang ditentukan, salah satu sarana yang dipersiapkan adalah tersedianya fasilitator penerapan jaminan mutu bokar di tingkat unit pengolahan dan pemasaran bokar (UPPB).
“Dalam konteks peningkatan mutu Bokar di Provinsi Kalteng, ada beberapa hal yang menjadi kendala dan perlu ditangani secara serius. Di antaranya, kebersihan bokar secara umum masih rendah dan sulitnya mendapatkan pembeku lateks anjuran di tingkat petani,” terangnya.
Selain itu, masih adanya asumsi petani bahwa berat bokar yang dibeli pabrikan bukan K3m sehingga menyebabkan petani selalu merendam bokar. Termasuk belum adanya transparansi harga di tingkat petani, pemasaran bokar masih didominasi oleh pedagang pengumpul atau tengkulak akibat kelembagaan petani pengolah yang masih lemah.
Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, ujar Rawing, telah dilakukan berbagai upaya. Di antaranya, membuat aturan tentang wajib penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) Bokar melalui Instruksi Gubernur Kalteng No.11/2004 dam meningkatkan SDM petugas maupun petani.
“Juga memberikan bantuan penguatan modal kepada kelompok petani pengolah, berkoordinasi dengan Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Kalsel-Kalteng (Kalselteng) untuk memperbaiki mutu bokar,” katanya.dkw