PALANGKA RAYA – Di Kalteng ini
dinilai masih cukup banyak terdapat pertambangan emas tanpa izin (Peti) dan
keberadaanya dinilai sangat menggangu. Namu dari tahun-ketahun, jumlahnya terus
menurun.
Gubernur Kalteng Agustin Teras
Narang pada koordinasi dan supervise pengolahan pertambangan mineral dan batu
bara, di Aula Eka Hapakat, Komplek Kantor Gubernur Kalteng, belum lama ini
mengatakan, di Kalteng ini masih cukup banyak terdapat Peti, baik di sungai
maupun di daerat, ujarnya.
Namun dari tahun-ketahun jumlahnya
dinilai terus alami penurunan seiring dengan menurunya potensi yang ada.
Tetapi, keberadaan Peti ini dinilai sangat mengganggu dan merugikan, lanjutnya.
Sehingga, saat ini Pemerintah Kalteng
sedang mengkampanyekan stop peti dan berkerja sama dengan pihak Kepolisian
untuk melakukan penindakan. Namun yang dilakukan tidak hanya melakukan
penindakan saja, tetapi juga mencari solusinya, yaitu dengan memberikan wilayah
pertambangan rakyat (WPR).
Hanya saja dalam menetapkan WPR pihaknya masih terkendala izin pinjam pakai kawasan
hutan (IPPKH) dari Menteri Kehutanan (Menhut).
Sebelumnya
Teras mengatakan, untuk WPR ini menjadi suatu problem tersendiri, karena dia sudah
membuat kebijakan untuk di Pujon dan Timpah, namun sampai sekarang belum ada izin
pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. Padahal itu hanya sekitar 75
Ha lahan yang akan ditambang oleh masyarakat, ungkapnya.
Sehingga
dalam menentukan WPR masih terkendala dengan masalah izin pinjam pakai dari
Pemerintah Pusat dan itulah menjadi PR pemerintah berikutnya, mudah-mudahan
pemerintahan yang akan datang memikirkan hal-hal yang kecil seperti itu.
“Ini
hal kecil, tetapi dampaknya bagi masyarakat luar biasa. Kemarin saya dapat laporan
bahwa rute kapal susur sungai di sungai Rungan, bahwa penambang liar hampir menutupi
sungai itu, ini yang saya saya sedih,” ungkapnya.
Untuk
itu ia meminta kepada Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Provinsi
Kalteng untuk segera memperingatkan Pemerintah Kota Palangka Raya untuk
menindak tegas penambang liar tersebut dan mencari solusinya agar jangan sampai
merusakan dan menggangu lingkungan, ujarnya.
Sementara
Kepala
Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Provinsi Kalteng Syahril Tarigan
mengatakan, semua daerah sudah mengusulkan WPR, meski memang ada beberapa yang
masih bermasalah, antaralain di daerah Kotawaringin Timur (Kotim) mengingat
mereka mengusulkan WPR di daerah atau Wilayah
Usaha Pertambangan (WUP), sehingga terjadi tumpang tindih.
Untuk
itu ia menyarankan agar WUP nya diusulkan untuk dirubah, karena dalam menetapkan WPR, Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) dan
Wilayah Pencadangan Nasional (WPN) tidak boleh terjadi tumpang tindih.
Namun
ada beberapa kabupaten yang mengusulkan WPR tepat di WUP, untuk itu pihaknya meminta
kabupaten agar mengubah usulan WUP tersebut menjadi WPR, sementara proses
Wilayah Pertambangan (WP) belum ditetapkan.
“Selain
itu, rata-rata WPR yang diusulkan kabupaten/kota tersebut masuk dalam kawasan
hutan. Sebab, prosesnya akan menjadi rumit karena harus meminta IPPKH dari
Menhut,” terangnya.
Disisi lain, jelas Syahril, mengapa disaranakan mengubah
usulan dari WUP ke WPR, karena dalam UU menyebutkan tidak boleh ada tumpang
tindih lahan dalam wilayah pertambangan yang sama. Contohnya dalam WPN, tidak
boleh tumpang tindih dengan penetapan WPR.
“Kalau dahulunya di usulkan menjadi WPN, kemudian di
usulkan kembali menjadi WPR, itukan tidak bisa. Kita juga harus mengusulkan
perubahan seperti itu,” ujarnya.dkw