Selasa, 12 Juli 2011

KPK Pernah ke Seruyan

08-07-2011 00:00
Harian Umum Tabengan,  
PALANGKA RAYA
Mayoritas pengaduan pelanggaran dari Provinsi Kalteng yang masuk ke KPK lebih didominasi kasus perizinan. Menurut Wakil Ketua KPK M Jasin, Kabupaten Seruyan merupakan salah satu daerah di Kalteng yang pernah dikunjungi tim KPK.
Laporan pengaduan dari Provinsi Kalteng  hingga 4 Juli 2011 sebanyak 177 surat pengaduan. Dari jumlah itu, 174 di antaranya sudah ditelaah. Yang masuk ke instansi berwenang sebanyak 11, dengan rincian ke Kejaksaan enam, Kepolisian RI dua, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) satu, dan Inspektorat satu.
Menurut Wakil Ketua KPK M Jasin, pengaduan yang sudah masuk ke internal KPK sebanyak sembilan, dengan rincian lima masuk ke bidang pencegahan dan empat ke bidang penindakan. “Untuk tindak lanjut, permintaan tambahan data ke pelapor sebanyak 32 laporan, tidak tindak lanjut karena tidak memiliki identitas dan tanpa bukti awal 122 laporan,” kata Jasin saat konferensi pers di sela-sela Workshop Peran Serta Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi, di Hotel Luwansa, Palangka Raya, Kamis (7/7).
Jasin tidak merinci kasus-kasus yang disebutkan, tapi hanya mengatakan rata-rata didominasi kasus perizinan. Kasus yang sudah dilaporkan ke KPK,  harus dilakukan berbagai kajian yang membutuhkan peran aktif masyarakat untuk dapat melengkapi bukti-buktinya, “KPK juga akan mencari bukti-bukti berdasarkan cara mereka sendiri, agar kasus ini dapat diungkap dengan baik,” jelas Jasin.
Daerah mana saja di Kalteng yang pernah diselidiki KPK, Jasin mengaku, beberapa waktu lalu, pihaknya sudah turun ke Kabupaten Seruyan untuk mengumpulkan bukti-bukti proses pelanggaran dan indikasi korupsi. “Pengumpulan alat bukti membutuhkan waktu dan proses, serta strategi yang bagus, ketat, dan tidak bocor,” kata Jasin.
Terkait munculnya dua nama kabupaten di Kalteng berinisial B dan S yang digulirkan Tim Pusat yang menyelidiki kasus pelanggaran izin kawasan hutan, Jasin menyatakan bahwa yang berwenang menentukan hal tersebut harus pihak berwajib. “Tapi kalau ada pihak yang dijadikan tersangka oleh aparat hukum di daerah, kami tentu akan mendorongnya,” kata Jasin.
Sementara Wakil Gubernur Kalteng Achmad Diran yang dikonfirmasi terpisah, mengaku tidak mengetahui data dan siapa-siapa yang terlibat dalam kasus-kasus yang disebutkan KPK. “Data-data tersebut adanya di intern KPK, sehingga kita tidak berani mengira-ngira, nanti justru malah salah,” kata Diran.
 
Negara Rugi Rp15 T
KPK dan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menemukan 370 izin perusahaan besar swasta (PBS) di Kalimantan bermasalah. Akibatnya, setiap tahun negara mengalami kerugian Rp15 triliun.
Wakil Ketua KPK M Jasin mengatakan, dari sejumlah kasus, PBS pertambangan paling banyak bermasalah. Selain itu, kerugian negara yang cukup besar juga karena kelalaian PBS dalam membayar penerimaan negara bukan pajak (PNBP), seperti dari hasil pemanfaatan kayu dan dana reboisasi. “Kerugian ini akan terus berlangsung apabila persoalan tersebut tidak diselesaikan dengan baik,” kata Jasin.
Dalam hal ini, katanya, KPK hanya bisa memproses tindak pidana korupsi. Sementara pelanggaran karena tidak membayar pajak atau kewajiban lainnya, yang lebih berwenang adalah Kementerian Keuangan dan Kepolisian.
Untuk menangani kasus kehutanan dan pertambangan ini, lanjut Jasin, perlu kerja sama dengan pemerintahan dan instansi terkait lainnya, seperti Kemenkeu, Kemenhut, Kepolisian, dan Kepala Daerah yang telah menerbitkan perizinan itu.
KPK tidak bisa menangani sendiri persoalan mengenai perizinan ini, karena belum masuk dalam unsur tindak pidana korupsi. Untuk itu, perlu dilakukan penelusuran lebih lanjut dan bantuan pihak lain.
“Kecuali kasus pembalakan atau alih fungsi status hutan yang melanggar ketentuan UU, baik Keputusan Menteri Kehutanan maupun aturan-aturan lain dan ada indikasi korupsinya, bisa diproses oleh KPK,” tegas Jasin.
Dalam menangani kasus kehutanan, KPK harus melakukan dua langkah (tahapan). Pertama, identifikasi pelanggaran untuk mengetahui apakah ada indikasi pelangaran UU kehutanan atau ketentuan lainya. Setelah itu, mengidentifikasi apakah ada korupsi atau suap menyuap dalam kasus tersebut. Kalau alih fungsi hutan tersebut tidak ada indikasi korupsinya, maka itu tidak bisa diproses oleh KPK, meski memang benar ada pelanggar peraturan.
 
Tangani 9 Kasus
Sementara itu, sejak 2009 hingga 2011, Polda Kalteng telah menangani sembilan kasus PBS perkebunan dengan berbagai latar belakang kasus.
Kapolda Kalteng Brigjen Pol Damianus Jackie saat temu investor antara pemerintah dan investor perkebunan besar se-Kalteng, di Aula Eka Hapakat, lantai III Kantor Gubernur, Kamis, mengatakan, kesembilan PBS tersebut terdiri dari PT Flora Nusa Perdana dengan pelanggaran UU No.41/1999 tentang Kehutanan, prosesnya masuk tahap II.
Kemudian PT Susantri Permai, pelanggaran UU No.41/1999 tentang Kehutanan (tahap II), PT Bisma Darma Kencana, pelanggaran Perda No.5/2003 tentang Pembakaran Hutan dan atau Lahan (tahap II), PT Rimba Elok, pelanggaran UU No.41/1999 tentang Kehutanan (Proses Sidik) yang merupakan limpahan dari Polres Kobar.
PT Agro Bukit, pelanggaran UU No.41/1999 tentang Kehutanan (Sidik), PT Sarana Titian Permata, pelanggaran UU No.41/1999 tentang Kehutanan (Sidik), PT Wanayasa Kahuripan Indonesia, pelanggaran UU No.18/2004 tentang Perkebunan dan UU No.41/1999 tentang Kehutanan (Sidik).
Selanjutnya PT Kapuas Maju Jaya, pelanggaran UU No.41/1999 tentang Kehutanan (Lidik), PT Nusa Sawit Perdana, pelanggaran UU No.18 tentang Perkebunan dan UU No.41/1999 tentang Kehutanan (Lidik), serta PT Tunas Agro Sawit Kencana, pelanggaran UU No.18/2004 tentang Perkebunan dan UU No.41/1999 tentang Kehutanan (Lidik).
“Permasalahan dalam usaha perkebunan, yakni konflik terkait kawasan hutan KPP/KPPL/HP/HPK dengan masyarakat, IUP Tambang, HTI/HPH, serta antarperkebunan,” kata Damianus.
 
Menyangkut kawasan hutan KPP/KPPL/HP/HPK, terkait dengan lahan yang belum memperoleh persetujuan pelepasan kawasan hutan dari Menhut. Sementara dengan masyarakat terkait lahan milik masyarakat yang telah dibebani atas hak, dikerjakan tanpa izin, masyarakat belum mendapat ganti rugi.
Untuk IUP Tambang, lahan kebun tumpang tindih dengan perusahaan tambang, HTI/HPH menyangkut izin lokasi pada areal yang telah diberi izin, serta antarperkebunan, adanya indikasi perkebunan memanen di dua wilayah kabupaten, tetapi memiliki izin di satu kabupaten, lahan kebun juga tumpang tindih dengan kebun lain.
Di samping itu, juga diampaikan data kasus berdasarkan pengaduan masyarakat terhadap usaha perkebunan ke Polda Kalteng dan jajarannya pada tahun 2010/2011. Menyangkut sengketa tanah/tanah garapan/penyerobotan/pengrusakan/tuntutan ganti rugi lahan masyarakat oleh perusahaan kebun, untuk 2010 berjumlah 34 kasus, pada 2011 naik menjadi 46 kasus, ini diupayakan penyelesaian melalui mediasi.
Untuk jenis mohon bantuan penyelesaian sengketa hak atas lahan garapan, pda 2010 berjumlah tujuh kasus, 2011 mencapai delapan kasus, penyelesaian juga melalui mediasi. “Perambahan kawasan pada 2010 berjumlah tiga kasus, pada 2011 satu kasus, satu sudah masuk tahap II dan tiga sidik,” kata Damianus. dkw/str