Minggu, 16 Oktober 2011

REDD+ Dinilai Rawan Konflik

Harian Umum Tabengan, PALANGKA RAYA - Kalteng dengan karakteristik hutan dan gambut menjadi wilayah yang diminati para pihak untuk dijadikan proyek percontohan REDD maupun bisnis perdagangan karbon. Jika tidak transparan, Walhi menilai proyek ini rawan konflik.
Hal itu disampaikan Direktur Walhi Kalteng Arie Rompas dalam diskusi publik tentang potret deforestasi hutan dan upaya perlindungan atas hak-hak masyarakat adat/lokal dalam proyek pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, di Hotel Luwansa, Palangka Raya, Minggu (18/9).
Menurutnya, proyek tersebut berpotensi konflik karena memiliki syarat dengan bentuk penguasaan wilayah atas kawasan seperti di Kalteng juga telah banyak terjadi konflik sosial yang diakibatkan oleh industri ekstraktif seperti perkebunan sawit, tambang dan juga HPH/HTI. "Telah banyak menimbulkan persoalan konflik sosial akibat perkebunan dan pertambangan, bahkan telah mendorong pelanggaran HAM," ujarnya.
Diutarakannya, provinsi Kalteng merupakan salah satu wilayah yang memiliki karakteristik hutan dan gambut sebagai sumber penyimpanan karbon, sehingga menjadi wilayah yang diminati oleh para pihak untuk di jadikan wilayah proyek percontohan REDD maupun bisnis perdagangan karbon.
Salah satu proyek yang digagas di Kalteng dan sudah melakukan aktivitasnya adalah proyek Kalimantan Forest Climate Patnership (KFCP) yang merupakan proyek kerja sama antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Australia.
Dijelaskannya, dalam program Indonesia-Australia Forest Climate Partenrship (IAFCP) sebagai upaya untuk mendukung usaha dalam perjanjian internasional UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change) yang terkait dengan pengurangan emisi gas rumah kaca melalui REDD, berlokasi di wilayah Kecamatan Mantangai dan timpah dengan 14 desa/dusun seluas 120 ribu hektare.
Dengan ditunjuknya Kalteng sebagai pilot provinsi program REDD+ pada akhir 2010 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), banyak tantangan yang harus dihadapi. Terutama tekanan deforestasi yang masih sangat tinggi dengan perizinan untuk sawit, tambang dan HPH/HTI yang mencapai 80 persen dari total wilayah Kalteng akan terus mendorong deforestasi dan justru berbalik terhadap upaya pengurangan emisi yang dicanangkan oleh SBY sebesar 26 persen.
Kemudian, sambung dia, di sisi lain masuknya proyek-proyek REDD+ di Kalteng tidak diketahui masyarakat di sekitar kawasan hutan karena informasi yang sangat minim. Padahal masyarakat yang hidup di sekitar hutan adalah pihak yang paling berkepentingan tetapi tidak menjadi pemeran utama dalam proyek REDD+.
Dalam diskudi itu, tenyata bukan hanya masyarakat Kalteng yang belum memahami tentang pelaksanaan REDD+, masyarakat dari beberapa daerah lain yang pernah mendapatkan program REDD+ seperti Papua, Aceh, dan Sulteng juga belum memahami sepenuhnya.
Warga Papua Barat Pesau, mengaku bingung dengan keberadaan program REDD+, karena masyarakat tidak mengetahui apa makna, maksud, keutungan, dan bagaiman mekanisme pelaksanaan di lapangan. Hal serupa disampaikan warga Aceh Julpiter Adman bahwa program REDD+ ini hanya baik dimata pemerintah. “Bahkan saya menilai program ini adalah model penjajahan kapitalisme, mengingat kalau negara maju ingin membatu kenapa harus ada perjanjian dan lain sebaginya,” katanya.
Arie Rompas mengharapkan diskusi ini menghasilkan beberapa alternatif di antaranya melakukan lobi langsung terhadap pemerintah maupun negara-negara maju dan mengampanyekan melalui media massa dengan harapan agar pemerintah dapat mendengar keluhan dari masyarakat dan membuat kebijakan yang berpihak kepada mereka.dkw/ant