Selasa, 06 September 2011

Hukum Adat dan Nasional Belum Sinkron

Hukum Adat dan Nasional Belum Sinkron

Harian Umum Tabengan, Hukum Nasional (positif) dengan hukum adat dinilai belum sinkron. Hal ini dapat terlihat bahwa pada beberapa persoalan hukum yang sudah diselesaikan secara hukum adat, namun tetap diproses secara hukum positif.

Budayawan Kalteng Kusni Sulang, yang juga tokoh masyarakat adat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng, Dosen Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya M Rakhmadiansyah Bagan, dan Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kalteng Sabran Ahmad ketika menjadi narasumber Dialog Publik Sinronisasi Antara Hukum Adat dan Hukum Nasional di Kalteng yang diselenggarakan AMAN Kalteng, di Aula Soverdi, Palangka Raya, Sabtu (30/7), mengatakan, lemahnya kelembagaan maupun hukum adat Dayak di Kalteng sehingga tidak bisa disinkronkan dengan hukum nasional.
Kusni menyebut, pada kasus-kasus tertentu seperti pembunuhan, meski persoalan tersebut sudah diselesaikan secara hukum adat, namun dari aparat keamanan juga tetap memproses kejadian tersebut.
Ini menjadi salah satu bukti bahwa hukum adat dan hukum nasional masih belum bisa sinkron, padahal jauh sebelum negara ini ada kearifan lokal hukum adat tersebut sudah ada. Diharapkan, hukum yang lahir sesudahnya dapat menghormati hukum yang sudah lahir sebelumnya, ujar Kusni.
Kusni menegaskan, Kalteng sudah punya Perda No.16/ 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalteng namun dinilai masih belum mampu menyelesaikan sengketa-sengketa adat yang terjadi di tengah masyarakat. Ini terjadi karena selain pengakuan hak masih lemah, juga karena kelembagaan adat yang ada dinilai masih belum memadai.
“Perlu adanya pelatihan terhadap para Damang dan Mantir Adat mengenai tugas dan fungsinya, karena di beberapa daerah ada ditemui mantir adat justru berasal dari orang luar Kalteng,” katanya.
Tidak hanya itu, Perda Kelembagaan Adat Dayak di Kalteng juga dirasa perlu dilakukan berbagai pembenahan lagi, mengingat dinilai masih terdapat celah atau kekurangan. Karena dinilai dengan perda tersebut masyarakat adat Kalteng tidak bisa hidup seperti dulu dan terkesan terkungkung serta hak-haknya secara tidak langsung dipinggirkan. Terkesan, perda tersebut berpihak pada pemilik modal.
Sementara Rakhmadiansyah Bagan mengatakan, agar hukum adat di Kalteng bisa diakui keberadaannya secara Nasional maka kelembagaan adat dan SDM orang-orangnya harus lebih diperkuat lagi.
Kelembagaan adat yang ada saat ini dinilai masih lemah. Ini dapat terlihat bahwa masyarakat adat yang ditangkap oleh aparat, namun tidak pernah dilakukan tindakan hukum adat sebagai upaya perlindungan hukum. “Maka kita kembalikan ke pranata sosialnya, lembaga adatnya, dan SDM yang mengelola itu, sehingga mereka bisa bicara atas nama rakyat,” kata Adi Bagan—panggilan akrab Rakhmadiansyah Bagan.
Disebutkan Adi, pemerintah sudah mengakomodir mengenai adat. Misalnya dalam UU No.10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Seandainya hal itu tidak dimasukkan, maka hak masyarakat untuk melakukan judicial review. Tapi sayangnya, hak-hak itu tidak pernah digunakan. Meski demikian, ia menilai bahwa yang disebut dengan sinkronisasi tersebut bukan berarti hukum adat harus setara dengan hukum nasional. Tapi lebih bagaimana pengakuan terhadap hukum lokal dan hak-hak masyarakat lokal tersebut.
Sedangkan Sabran Ahmad mengakui, kelembagaan adat yang ada saat ini dinilai masih lemah. Meski demikian, saat ini pihaknya terus melakukan pembenahan baik secara kelembagaan maupun SDM para Damang dan Mantir Adat yang ada serta melakukan sosialisasi ulang Perda Kelembagaan Adat Dayak di Kalteng.
Dalam pembukaan acara itu, Ketua Badan Pelaksana Harian (BPH) AMAN Wilayah Kalteng Simpun Sampurna dalam sambutan tertulis dibacakan BPH AMAN Kalteng Stevievebrialisna mengatakan, dialog publik tersebut dilaksanakan sebagai perjuangan untuk memastikan perlindungan dan hak-hak masyarakat adat.
Ketua Panitia Pelaksana Nindita Nareswari menjelaskan, tujuan dialog ini untuk melakukan upaya sinkronisasi antara hukum adat dan hukum nasional dalam menyelesaikan sengketa dan mencegah timbulnya konfik berkelanjutan. Kemudian, mendukung tercapainya konsep restorative justice di Indonesia, mencari nilai-nilai kearifan lokal, dan meningkatkan ketahanan Nasional.dkw