Jumat, 11 November 2011

Perusahaan Terindikasi Rambah Hutan


08-11-2011 00:00
Harian Umum Tabengan,  
PALANGKA RAYA
Perusahaan yang beroperasi di Desa Bereng Rambang, Kahayan Tengah, selain bersengketa lahan dengan masyarakat, ternyata juga diindikasikan merambah hutan produksi.
Selain terjadi sengketa lahan dengan masyarakat, perusahaan yang beroperasi di Desa Bereng Rambang, Kecamatan Kahayan Tengah, Kabupaten Pulang Pisau, terindikasi telah merambah hutan di wilayah desa tersebut.
Hal itu terungkap dari hasil peninjauan Dinas Kehutanan (Dishut) Kalteng, Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan anggota DPRD Kalteng, Senin (7/11). Peninjauan tersebut membuat masyarakat Bereng Rambang, yang sebelumnya mengadu ke DPRD Kalteng, dapat sedikit bernafas lega.
Ketua Komisi A DPRD Kalteng Yohanes Freddy Ering mengatakan, peninjauan lapangan tersebut sebagai tindak lanjut terhadap pengaduan masyarakat Bereng Rambang kepada DPRD Kalteng, Rabu, 19 Oktober 2011, tentang dugaan pencaplokan lahan warga oleh Nego J Abel dan kawan-kawan.
“Kita dari DPRD Kalteng tadi hanya mendampingi dan ingin memantau secara langsung pengaduan dari masyarakat Bereng Rambang, ternyata apa yang disampaikan masyarakat tersebut benar adanya,” kata Freddy kepada Tabengan yang diamini Imam Mardhani, Iber H Nahason dan Lina Ningsih, yang juga turut serta dalam peninjauan ke lapangan tersebut.
Menurut Freddy, selain diduga menyerobot tanah warga desa, dengan membuat surat keputusan tentang penetapan pejabat penerbit surat keterangan sah kayu bulat (P2SKSKB) kayu rakyat mengatasnamakan masyarakat desa tersebut, juga terindikasi telah merambah hutan, yang ke depannya dikhawatirkan mengganggu ekosistem wilayah setempat.
“Berdasarkan pengamatan kita, jelas sekali akibat ulah oknum tersebut ada yang dirugikan, terutama warga setempat. Selain itu, beberapa oknum tersebut juga terindikasi telah merambah kawasan hutan,” tambah Freddy.
Legislator senior dari PDI Perjuangan ini menjelaskan, meskipun sudah ada aksi masyarakat dengan mengadu ke DPRD Kalteng, namun ternyata perusahaan tersebut masih melakukan aktivitas. Di lokasi terdapat bandsaw, jalur rel untuk pengangkutan kayu, jalan, dan membangun berbagai fasilitas pendukung aktivitasnya.
Karena hal itu diindikasikan telah merambah hutan, Freddy meminta pemerintah segera menyelidiki keberadaan perusahaan tersebut. “Kita minta kepada pihak aparat untuk dapat serius dalam melakukan penyelidikan ini, karena berdasarkan penilaian kita, perbuatan oknum tersebut diduga ada bentuk pidananya,” kata Freddy.
Freddy menambahkan, kedatangan rombongan peninjauan tersebut mendapat sambutan hangat dari warga, kepala desa maupun perangkat Desa Bereng Rambang.
Rudy Naik, jurubicara warga Desa Bereng Rambang mengatakan, sejumlah tanah adat masyarakat setempat dikuasai oleh Nego J Abel bersama rekan-rekannya. Penguasaan tanah adat dan hutan desa tersebut dilakukan tanpa berkoordinasi dengan aparat atau kepala desa setempat. Luas lahan yang dikuasai tersebut sekitar 1.000 hektare, yang dibuka lebih secara bertahap.
Untuk mendukung aktivitas dengan pembukaan lahan tersebut, Nego dan rekan-rekannya juga telah mendirikan Koperasi Bukit Rambang, Bandsaw UD Setia, dan memasukkan PT Jatayu. “Itu merupakan salah satu sarana Nego untuk mengapling dan memperluas penguasaan hutan/lahan, yang mana kegiatan tersebut telah merusak habitat hutan,” katanya.
Selain itu, tanda tangan Kepala Dinas Kehutanan (Dishut) Kalteng Sipet Hermanto diduga dipalsukan dalam SK tentang P2SKSKB kayu rakyat.
Sipet yang juga turut meninjau ke lapangan mengatakan, pihaknya terus melakukan pemeriksaan mengenai surat tersebut. Apabila kemungkinan ada pemalsuan, akan dilaporkan kepada pihak kepolisian. Terbitnya surat bernomor 522.2.221/118/Dishut, 11 Januari 2011, dengan tanda tangan Kedishut Kalteng Sipet Hermanto tersebut, menimbulkan keresahan warga Desa Bereng Rambang.
Saat diwawancarai di kantornya, kemarin, Sipet menegaskan, dari hasil pengecekan di lapangan, secara umum dengan menggunakan global positioning system (GPS), lokasi kegiatan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) tanah milik yang diadukan oleh warga Bereng Rambang ke DPRD Kalteng beberapa waktu lalu, terindikasi berada di kawasan hutan produksi.
Apabila memang terbukti kegiatan tersebut berada di lokasi hutan produksi, akan diproses sesuai ketentuan dan peraturan yang berlaku dan dilimpahkan kepada pihak Polda Kalteng. “Kalau memang terindikasi industri yang ada di sana melakukan pengolahan berasal dari kayu-kayu ilegal, tidak menutup kemungkinan juga akan kami usulkan kepada Gubernur untuk dicabut izin industrinya,” tegas Sipet.
Ia menjelaskan, dalam pengecekan itu pihaknya lebih pada menyangkut fungsi kawasan, baik lokasi industri maupun lokasi IPK tanah milik dengan aspek legal formal sertifikat tanah milik kelompok masyarakat tersebut.
Namun berdasarkan tinjauan di lapangan, lokasi kegiatan IPK tanah milik tersebut berada pada hutan produksi, baik dari segi Perda No.8/2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalteng maupun pada lampiran peta SK Menteri Kehutanan No.292/menhut-II/2011, tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan.
Melihat kondisi itu, kata Sipet, pekan ini akan diturunkan tim terpadu, terdiri dari tim teknis Dishut Kalteng, dalam hal ini Subdin Perlindungan dan Keamanan Hutan serta Subdin Perencanaan, didampingi Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat (SPORC) BKSDA Kalteng untuk memastikan indikasi tersebut.
Seandainya nanti dari hasil tim terpadu tersebut membenarkan di lokasi  IPK tanah milik tersebut berada pada hutan produksi, untuk menentukan siapa yang paling bertanggung jawab atas kejadian itu menjadi tugas dari pihak kepolisian. Baik melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk penetapan status barang bukti dan tersangkanya. sgh/dkw

PBS Kuasai 95 Persen Lahan


Pemerintah Harus Aktif Pulihkan Lingkungan
Lahan di kalteng lebih banyak di kuasai perusahaan besar swasta (PBS) di banding rakyat biasa. Cermin ketidakadilan distribusi tanah untuk warga Negara.
PALANGKA RAYA, Tabengan : Organisasi lingkungan hidup Save Our Borneo (SOB) menengarai penguasaan lahan di kalteng tidak mencerminkan asas keadilan bagi rakyat. “Total luas izin perkebunan besar swasta di kalteng saat ini sama sekali tidak mencerminkan keadilan distribusi aset alam dan keadilan distribusi alat produksi berupa tanah untuk warga Negara”. Kata coordinator SOB Nordin dalam rilisnya yang di terima oleh Tabengan, minggu( 17/10).
Sebanyak 4,65 juta hektar  kawasan Kalteng sudah di berikan izin untuk perkebunan besar swasta (PBS), 95 pesen diantaranya merupakan kelapa sawit, dari 4,65 juta hektar tersebut, 2,574 juta hektar sudah operasional dan bahkan panen buah sisanya, 2,574 juta hektar belum operasional, namun sudah dinyatakan sebagai milik 205 pengusaha kelapa sawit.
Sayangnya, dari keseluruhan yang diberikan untuk perkebunan tersebut, bila berdasarkan tata guna hutan kesepakatan (TGHK), sebanyak 3,926 juta hektar merupakan kawasan hutan. Jika berdasarkan rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) 2003, seluas 1,710 hektar berada dalam kawasan hutan, baik hutan lindung (HL), hutan produksi (HP), hutan produksi terbatas (HPT), maupun hutan produksi yang dapat di konversi (HPK).
“ Berdasarkan TGHK, kawasan hutan yang sudah di rambah untuk perkebunan kelapa sawit (aktif)  mencapai 1,664 juta hektar. Sementara, jika berdasarkan RTRWP 2003, seluas kurang lebih 365.000,” kata Nordin yang juga anggota Dewan Nasional Walhi ini.
Mengacu pada TGHK, pelepasan kawasan hutan yang di berikan oleh Menteri Kehutanan (Menhut) sampai tahun 2010 ini hanya 553.000 hektar. Dengan demikiana da 1,1 juta hektar lahan yang sudah digarap tersebut tanpa ijin pelepasan kawasan hutan (IPKH) dari Menhut.
SOB menyayangkan sikap pemerintah yang menutup mata terhadap aktivitas penjarahan terstruktur pada kawasan-kawasan hutan di Kalteng dan melakukan pembiaran atas terjadinya tindak kejahatan kehutanan.
“SOB meminta kejahatan-kejahatan kehutanan oleh perusahaan perkebuanan kelapa sawit segera dambil langkah hukum tanpa kompromi. Jika tidak sama saja pemerintah dan aparat hokum adalah bagian dari pelanggar,” tegas Nordin.
Tanggung Jawab Pemerintah
Nordin menilai pemerintah harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan saat ini, karena telah menerbitkan beberapa peraturan dan izin yang tidak berwawasan lingkungan. Meskipun kerusakan hutan menjadi tanggung jawab bersama, namun yang menerbitkan peraturan, ijin tambang, ijin perkebunan, dan hak pengusahaan hutan (HPH)  adalah pemerintah. Karena itu, pemerintah harus berperan aktif memulihkan lingkungan.
Menurut Nordin, sampai saat ini kebijakan Negara belum mengutamakan pengelolaan lingkungan, Sumber Daya Alam (SDA), dan asset-aset kehidupan masyarakat. Ini dapat terlihat dari banyaknya SDA yang seharusnya menjadi sumber penting bagi kehidupan rakyat dan dapat didistribusaikan secara adil, namun hingga kini belum terlaksana dengan baik.
“Ini terjadi bukan hanya karena pemerintahannya, namun juga kebijakan Negara yang tidak berorientasi terhadap keadilan distribusi aset alam bagi kesejahteraan warga negaranya,” kata Nordin.
Nordin menilai, meskipun pengerusakan tetap berlangsung dan bencana terus terjadi, namun langkah tegas dan proses rehabilitasi hutan dan lingkungan hanya dilakukan untuk sementara dan seadanya. Menyikapi kondisi tersebut, sebagai leading sektor, pemerintah harus melakukan perubahan aturan. “Kami mendesak pemerintah membenahi pengelolaan asset alam dan sumber-sumber kehidupan rakyat ini secara lebih adil,” ujar Nordin.
Senada dengan itu, Arie Rompas, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indoneisa (Walhi) Kalteng mengatakan, bencana alam, lingkungan dan bencana ekologi terus terjadi. Hal tersebut menunjukan negeri ini sedang sakit. “Seharusnya kebijakan pemerintah atau politik dialihkan untuk keselamatan alam dan masyarakat,” kata Arie saat sarasehan dalam rangka 3 dekade Walhi di Aula Makarti Muktitama, Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Kalteng, belum lama ini.
Pemerintah wajib melindungi hak-hak rakyat melalui pengelolaan kebijakan lingkungan yang lebih adil dan menempatkannya diatas segalanya. Bahkan di Kalteng sendiri, akibat pengerusakan lingkungan, ketika hujan selalu kebanjiran, kmarau selalu kebakaran dan kabut asap, sehingga kualitas kehidupan masyarakatpun menurun.
Masih Diblokir
Di bagian lain, sudah sepekan ini warga Desa Timpah, Kabupaten Kapuas, meblokir jalan menuju lahan perkebunan sawit PT. Kahayan  Agro Lestari (KAL). Pemblokiran ini terjadi karena pihak perusahaan belum menyelesaikan masalah pembebasan lahan, termasuk janji akan akan melibatkan warga dalam perkebunan plasma.
Kasus ini disinyalir akan berlarut-larut, sebab pihak perusahaan telah menjual sahamnya kepada investor lain. Dugaan ini dikuatkan dengan kedatangan Tomas, pihak perusahaan yang ingin masuk keareal perkebunan, namun dihadang warga. Hal ini sesuai juga dengan pengakuan Yono, penanggungjawab bagian Divisi I PT. KAL.
Meski tidak terang-terangan, kepada Tabengan Yono mengatakan, perusahaan telah take over (beralih tangan) dari pemilik awal ke yang baru. Sebelumnya, ketika dihubungi via telepon, Direktur PT. KAL Tomi T belum bisa menanggapi aksi warga memblokir jalan menuju perkebunan sawitnya. Dia mengaku saat ini sedang keluar kota, sehingga belum mengetahui masalah sebenarnya. Dia baru mendapat informasi dari anak buahnya mengenai permasalahan di perusahaan.
Kepala Desa Timpah Seko Winarno mengatakan, dalam minggu ini, perusahaan berjanji mengadakan pertemuan dengan warga difasilitasi pehak Kecamatan dan Kades setempat untuk membicarakan permasalahan yang terjadi. Str/dkw/and

Selasa, 25 Oktober 2011

Kalimantan Belum Bebas Flu Burung dan Rabies

Kalimantan Belum Bebas Flu Burung dan Rabies
Dapat Menular ke Manusia dan Sebabkan Kematian
Penyakit flu burung dan rabies masih menjadi ancaman bagi masyarakat
di Pulau Kalimantan karena belum terbebas dari kedua penyakit
tersebut. Berbagai upaya penanggulangan dan pencegahan dirumuskan
dalam rapat koordinasi regional Kalimantan di Palangka Raya.

PALANGKA RAYA, Tabengan: Provinsi Kalteng belum sepenuhnya terbebas
dari flu burung dan rabies yang merupakan dua jenis penyakit hewan
menular strategis. Kedua penyakit itu perlu mendapat penanganan serius
karena dapat menular pada manusia dan menyebabkan kematian.
Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang dalam sambuatan tertulis yang
dibacakan Wakil Gubernur Achmad Diran pada pembukaan Rakor Regional
Rabies dan Flu Burung Se-Kalimantan di Hotel Luwansa, Palangka Raya
Senin (24/10), mengatakan, penyakit hewan tersebut tidak hanya
menggangu kesehatan dan berakibat pada kematian, namun berdampak pula
pada ganguan ekonomi, ketentraman, dan kesejahteraan masyarakat.
Flu burung pada unggas pertama kali muncul di Kalteng pada 2003 di
Kabupaten Kotawaringin Timur. Berbagai upaya penanggulangan yang
dilakukan pemerintah daerah berhasil menangani penyakit tersebut
dengan baik, sehingga sejak Maret 2004 lalu dan sepanjang 2005-2006
tidak ada lagi kasus yang dilaporkan. Namun pada 2009 hingga sekarang,
di kabupaten itu  muncul kembali terutama pada saat peralihan musim,
meski tidak ditemukan penularan ke manusia.
Sedangkan penyakit rabies pertama kali muncul di Kalteng pada 1978 di
Kabupaten Barito Selatan yang diduga masuk melalui anjing yang di bawa
dari Kaltim dan kasus tersebut sekarang menyebar hampir ke seluruh
kabupaten/kota di Kalteng. Dengan semakin tingginya arus mobilisasi
penduduk dan terbukanya jalur lintas Kalimantan, lanjut Teras, potensi
penularan semakin terbuka. Untuk itu, dituntut kewaspadaan dari semua
pihak terhadap ancaman penularannya.
Di Kalteng, kasus gigitan hewan penular rabies khususnya anjing, pada
2009 terdapat 619 kasus, yang mendapatkan vaksin anti rabies sebanyak
408 kasus dan spesimen positif rabies pada anjing sebanyak 7 kasus.
Pada 2010 terdapat 1.188 kasus, mendapatkan vaksin anti rabies
sebanyak 787 kasus, meninggal dunia satu kasus, dan spesimen positif
rabies pada anjing sebanyak 22 kasus.
Sedangkan pada 2011 hingga Oktober terdapat 858 kasus. Mendapatkan
vaksin anti rabies sebanyak 561 kasus, meninggal dunia 1 kasus,
spesimen positif rabies pada anjing sebanyak 31 kasus. Menurutnya,
upaya penangulangan kedua penyakit ini sangat terkait erat dengan
tingkat partisipasi masyarakat. Karena itu, perlu dilakukan pola
pedekatan, strategi, dan upaya berkesinambungan sesuai dengan kondisi
dan budaya setempat.
Ia menyebutkan, sesuai dengan peraturan yang berlaku dan kesepakatan 4
gubernur di Kalimantan tentang pelaksanaan pembebasan rabies se-Pulau
Kalimantan, harus ditindaklanjuti dengan program dan upaya intensif
dari Tim Koordinasi Rabies maupun Komda Flu Burung di masing-masing
provinsi dan kabupaten/kota. “Kami berharap agar rakor ini
menghasilkan rumusan yang tepat dan ditindaklanjuti di lapangan,
sehingga ke depan Pulau Kalimantan dapat bebas dari penyakit rabies
dan flu burung,” tegas Teras.
Sementara Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian
Pertanian dalam sambutan tertulis yang dibacakan Direktur Kesehatan
Hewan drh Fuziatmoko, mengatakan hal serupa. Ia menegaskan, flu burung
dan rabies merupakan penyakit hewan menular dan masuk dalam 12
penyakit hewan menular yang strategis. Karena itu, upaya pembebasan
menjadi hal prioritas yang harus didukung dengan berbagai peraturan
dari pemerintah terkait. Selain itu, perlu ada kerjasama dari semua
pihak dalam rangka mencapai Indonesia bebas rabies 2020 mendatang.
Ia melanjutkan, penyebaran kedua jenis penyakit itu perlu mendapatkan
perhatian. Sebab, flu burung sudah menyebar di 32 dari 33 provinsi di
Indonesia, kecuali Maluku Utara. Kasus terbesar terdapat di Pulau
Jawa, Lampung, dan Sulawesi Selatan. Sementara Kalteng termasuk dalam
kategori sedang dan sudah menargetkan bebas flu burung pada 2014
mendatang.
Ketua Panitia Rakor Tute Lelo yang juga Kepala Dinas Pertanian dan
Peternakan Kalteng menjelaskan tujuan kegiatan yang berlangsung 24-25
Oktober. Rakor itu bertujuan untuk mengevaluasi situasi kasus rabies
dan flu burung serta perkembangan upaya pembebasan di Kalimantan.
Selain itu, mengevaluasi realisasi kegiatan pembebasan rabies dan flu
burung dari 2010 hingga September 2011.
Termasuk  menetapkan rencana pemberantasan dan pembebasan rabies dan
flu pada kegiatan triwulan IV 2011 dan 2012 mendatang, merumuskan
pedoman operasi dalam rangka Pulau Kalimantan bebas dari rabies dan
flu burung, serta menetapkan kebijakan dan rencana startegis
pembebasan rabies dan flu burung.
Peserta berjumlah 110 orang yang berasal dari Kementerian Pertanian,
Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Dalam Negeri. Juga dari Tim
Koordinasi, Balai Karantina Pertanian se-Kalimantan dan berbagai
instansi terkait lainnya.dkw

Rabu, 19 Oktober 2011

Warga Dayak Bersatu

19-10-2011 00:00 
Harian Umum Tabengan,  
PALANGKA RAYA
Hasil pertemuan Forum Silahturahmi Tokoh-tokoh Masyarakat Dayak se-Kalimantan (FSTDK), 14-15 Oktober lalu, di Samarinda, Kaltim, menghasilkan beberapa kesepakatan yang intinya, masyarakat Dayak harus bersatu dan menjadi tuan di daerahnya sendiri.
Yansen A Binti, koordinator rombongan tokoh masyarakat Dayak Kalteng, didampingi beberapa pengurus Gerakan Pemuda Dayak Indonesia (GPDI) dan tokoh masyarakat Dayak Kalteng saat jumpa pers di Gedung Betang, Kompleks Kantor Gubernur Kalteng, Selasa (18/10), menegaskan, tidak bisa ditawar-tawar lagi bahwa masyarakat Dayak dari berbagai daerah harus bersatu.
Hasil pertemuan tersebut melahirkan beberapa poin antara lain, masyarakat Dayak se-Kalimantan sepakat bahwa salam persatuan masyarakat Dayak adalah Adil Ka’ Kalin0, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Kajubata atau adil terhadap sesama, hidup baik pada jalan kebenaran. Masyarakat Dayak juga sepakat bahwa di manapun bumi di pijak, di situ langit dijunjung, baik investor, tokoh-tokoh maupun kader-kader bangsa, ketika mereka datang ke sini harus menghormati adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat Dayak.
Selain itu, dalam forum tersebut masyarakat Dayak juga sepakat,  pemukiman atau daerah yang mayoritas penduduknya orang Dayak, kepala daerahnya  harus orang Dayak. Karena itu, orang Dayak dipersilakan untuk bersaing dan menjadi yang terbaik.
Hal tersebut, kata Yansen, salah satu wujud pengabdian dari masyarakat Dayak terhadap Bangsa dan Negara ini, karena pengabdian tersebut tidak harus menduduki pemerintahan di tingkat pusat. “Orang Dayak sudah siap, yang tidak siap, karena adanya isu-isu yang memecah belah masyarakat Dayak,” lanjutnya.
Ia menilai, hal ini (dianggap tidak siap) memang tidak terlihat, namun dapat dirasakan antara lain yang membawa isu-isu agama dan suku yang dikampanyekan dengan manis, sehingga tidak tampak secara kasat mata. Sementara untuk memperjuangkan agar kepala daerah tersebut adalah orang Dayak, pihaknya diminta lebih proaktif menyampaikan hal tersebut kepada sejumlah partai. Ke depan diharapkan agar partai-partai tersebut wajib memperjuangkan agar yang dicalonkan adalah orang Dayak.
Selanjutnya, masyarakat Dayak juga sepakat satu-satunya organisasi masyarakat Dayak hanya Majelis Adat Dayak Nasional (MADN), sehingga organisasi-organisasi Dayak lainnya harus berada di bawah MADN.
Dari pertemuan tersebut, kata Yansen, juga disepakati untuk meminta perlakuan khusus dalam hal meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat Dayak di daerah perbatasan.
Untuk menindaklanjuti hal ini, pihaknya beberapa waktu ke depan akan mengirimkan proposal kepada Pemerintah Pusat agar tidak hanya memperhatikan peningkatan keamanan masyarakat di daerah perbatasan, namun juga kesejahteraannya.
Dalam sektor investasi, pihaknya juga sepakat pembagian hasil usaha tersebut pada 2012 mendatang harus 50-50 persen, antara investor dan daerah di mana sumber daya alam itu berasal. Karena kalau tidak seperti itu, masyarakat tidak akan bisa menikmati pembangunan yang maksimal.
Untuk mewujudkan ini, pihak perusahaan diminta melaksanakan corporate social responsibility (CSR) untuk memberdayakan masyarakat di sekitarnya. Terlebih saat ini sesuai kebijakan Gubernur, perusahaan harus menyiapkan 20 persen kebun plasma dari luas izin yang diusahakan dan pemerintah diminta memfasilitasinya.
Dari pertemuan tersebut masyarakat Dayak juga sepakat, pada 2014 mendatang siapapun Presidennya diharapkan agar ada menteri yang berasal dari orang Dayak. “Bahkan kapan perlu kenapa tidak mencalonkan Agustin Teras Narang sebagai Presiden,” katanya.
Masyarakat Dayak menilai Teras sosok lokal yang berwawasan nasional, bahkan internasioanl serta nasionalis, namun hal ini harus didiskusikan dan mendapatkan dorongan. “Meski demikian, semua itu tergantung dari masyarakat Dayak sendiri, namun kalau semua masyarakat bersatu, tidak ada hal yang tidak mungkin dapat dicapai,” kata Yansen. dkw

 

Senin, 17 Oktober 2011

Perlu Waktu 10 Tahun Pulihkan Potensi Perikanan

16-10-2011 00:00
Harian Umum Tabengan,  
PALANGKA RAYA
Dinas Kelautan dan Perikanan Kalteng mengingatkan agar masyarakat tidak melakukan praktik illegal fishing, karena mengancam kelestarian ekosistem dan kehidupan masyarakat. Diperlukan waktu sekitar 10 tahun untuk memulihkan dampaknya.
Kalteng memiliki sumber daya alam (SDA) perikanan di Kalteng melimpah. Provinsi itu memiliki perairan seluas 2.290.000 hektare, 11 daerah aliran sungai (DAS) besar, 690 danau, dan 1,8 juta hektare rawa yang bisa dimanfaatkan untuk usaha perikanan budidaya maupun tangkap.
Selain itu, garis pantai Laut Jawa sepanjang 750km membentang di 7 kabupaten dengan luas laut 944.500 hektare. Kabupaten itu, Sukamara, Kotawaringin Barat, Seruyan, Kotawaringin Timur, Katingan, Pulang Pisau, dan Kapuas. Potensi itu memiliki 270 spesies ikan air tawar, 92 spesies ikan hias, dan 20 jenis ikan langka.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kalteng Darmawan, memaparkan, sektor perikanan di wilayah itu meliputi perikanan tangkap dan budidaya dengan total produksi pada 2010 sekitar sebesar 126.122,18 ton. Dengan rincian, perikanan budidaya 24.922,98 ton (19,76 persen) dan perikanan tangkap sebesar 101.338,4 (80,24 persen). Sedangkan tahun ini, jumlah produksi ditargetkan sebesar 103.264,3 ton.
Darmawan menegaskan, meski potensi SDA perikanan di Kalteng melimpah, namun masyarakat diingatkan untuk tidak melakukan aktivitas penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing). Masyarakat  dilarang untuk menangkap ikan dengan cara meracun, menyetrum, maupun menggunakan bom.
“Praktik illegal fishing seperti itu bisa berdampak buruk bagi ekosistem lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat sekitar,” kata Darmawan di sela-sela Pertemuan Forum Koordinasi Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Ikan (FKPPS) Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP-712) Laut Jawa 2011, di Hotel Luwansa, Palangka Raya, baru-baru ini.
Menurutnya, cara seperti itu bukan hanya membunuh ikan berukuran besar, melainkan ikan kecil pun turut mati. Apabila kondisi ini dibiarkan, Darmawan khawatir ekosistem dan kelangsungan potensi perikanan Kalteng musnah dan tidak bisa dinikmati generasi berikutnya. Sebab, jika perairan itu diracun, memerlukan waktu sekitar 10 tahun untuk mengembalikan populasi ikan kembali normal seperti kondisi sebelumnya.
Di sisi lain, UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan imbauan Gubernur Kalteng pada 2009 lalu mengenai larangan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan-bahan beracun telah mempertegas jika ada oknum masyarakat tertangkap tangan melakukan aktivitas illegal fishing terancam sanksi. Sebagai bentuk keseriusan, pihaknya telah menjalin kerjasama dengan aparat kepolisian setempat agar pelaku bisa diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Langkah lain yang ditempuh, lanjut Darmawan, antara lain melakukan pengawasan dan razia dengan menurunkan petugas untuk mengawasi aktivitas di lapangan. Ia berharap, masyarakat juga terlibat melakukan pengawasan. “Saat ditemukan gerak-gerik mencurigakan dan diduga akan melakukan penyetruman atau meracun ikan di danau dan sungai, bisa langsung menghubungi aparat kepolisian terdekat,” katanya.dkw

Kemarau Tidak Berdampak Serius

16-10-2011 00:00 
Harian Umum Tabengan, PALANGKA RAYA Masyarakat Kalteng bisa bernapas lega. Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kalteng Mursyid Marsono menyatakan, dampak musim kemarau beberapa bulan terakhir ini yang dibarengi peristiwa kebakaran hutan, lahan, dan pekaranagan tidak berdampak serius terhadap lingkungan hidup, sosial, ekonomi, maupun kesehatan.
“Meski tidak berdampak signifikan, kebakaran tersebut telah mengganggu kehidupan flora dan fauna serta ekosistem lain di lokasi kebakaran hutan, lahan, dan pekarangan,” kata Mursyid didampingi Wilson, Kepala Sub Bidang Pengendalian Air, Tanah, Laut, dan Udara BLH Kalteng di ruang kerjanya, Jumat (14/10).
Namun demikian, pihaknya belum mengetahui secara pasti jumlah kerugian selama kemarau berlangsung maupun akibat kebakaran hutan, lahan, dan pekarangan di wilayah Kalteng. Ia menyatakan, jika dibandingkan kemarau pada 2006 lalu dengan peristiwa tahun ini, dampak yang ditimbulkan mengalami penurunan.
Menurut dia, hal itu membuktikan kerjasama semua instansi terkait berjalan maksimal. Penurunan dapat terlihat pada dampak kebakaran tahun 2006 lalu sekolah sempat diliburkan, aktivitas penerbangan di Bandara Tjilik Riwut ditutup, dan banyaknya keluhan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang dialami masyarakat.
Sedangkan yang terjadi pada tahun ini, sekolah tidak sampai diliburkan, penerbangan dinilai masih cukup lancar, dan meski sempat menggunakan masker namun tidak berlangsung lama.
Untuk mengantisipasi peningkatan kerugian yang dialami berbagai sektor akibat musim kemarau yang disertai kebakaran hutan, lahan, dan pekarangan, perlu ditempuh langkah antisipatif dan meningkatkan  sosialisasi kepada masyarakat.
Selain itu, meningkatkan fasilitas dan sarana prasarana regu pemadam kebakaran agar mampu bekerja efektif dan efisien. “Terpenting, perlu mendapatkan dukungan dan kesadaran masyarakat agar tidak melakukan aktivitas pembakaran lahan saat musim kemarau,” katanya.dkw

 

Minggu, 16 Oktober 2011

REDD+ Dinilai Rawan Konflik

Harian Umum Tabengan, PALANGKA RAYA - Kalteng dengan karakteristik hutan dan gambut menjadi wilayah yang diminati para pihak untuk dijadikan proyek percontohan REDD maupun bisnis perdagangan karbon. Jika tidak transparan, Walhi menilai proyek ini rawan konflik.
Hal itu disampaikan Direktur Walhi Kalteng Arie Rompas dalam diskusi publik tentang potret deforestasi hutan dan upaya perlindungan atas hak-hak masyarakat adat/lokal dalam proyek pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, di Hotel Luwansa, Palangka Raya, Minggu (18/9).
Menurutnya, proyek tersebut berpotensi konflik karena memiliki syarat dengan bentuk penguasaan wilayah atas kawasan seperti di Kalteng juga telah banyak terjadi konflik sosial yang diakibatkan oleh industri ekstraktif seperti perkebunan sawit, tambang dan juga HPH/HTI. "Telah banyak menimbulkan persoalan konflik sosial akibat perkebunan dan pertambangan, bahkan telah mendorong pelanggaran HAM," ujarnya.
Diutarakannya, provinsi Kalteng merupakan salah satu wilayah yang memiliki karakteristik hutan dan gambut sebagai sumber penyimpanan karbon, sehingga menjadi wilayah yang diminati oleh para pihak untuk di jadikan wilayah proyek percontohan REDD maupun bisnis perdagangan karbon.
Salah satu proyek yang digagas di Kalteng dan sudah melakukan aktivitasnya adalah proyek Kalimantan Forest Climate Patnership (KFCP) yang merupakan proyek kerja sama antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Australia.
Dijelaskannya, dalam program Indonesia-Australia Forest Climate Partenrship (IAFCP) sebagai upaya untuk mendukung usaha dalam perjanjian internasional UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change) yang terkait dengan pengurangan emisi gas rumah kaca melalui REDD, berlokasi di wilayah Kecamatan Mantangai dan timpah dengan 14 desa/dusun seluas 120 ribu hektare.
Dengan ditunjuknya Kalteng sebagai pilot provinsi program REDD+ pada akhir 2010 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), banyak tantangan yang harus dihadapi. Terutama tekanan deforestasi yang masih sangat tinggi dengan perizinan untuk sawit, tambang dan HPH/HTI yang mencapai 80 persen dari total wilayah Kalteng akan terus mendorong deforestasi dan justru berbalik terhadap upaya pengurangan emisi yang dicanangkan oleh SBY sebesar 26 persen.
Kemudian, sambung dia, di sisi lain masuknya proyek-proyek REDD+ di Kalteng tidak diketahui masyarakat di sekitar kawasan hutan karena informasi yang sangat minim. Padahal masyarakat yang hidup di sekitar hutan adalah pihak yang paling berkepentingan tetapi tidak menjadi pemeran utama dalam proyek REDD+.
Dalam diskudi itu, tenyata bukan hanya masyarakat Kalteng yang belum memahami tentang pelaksanaan REDD+, masyarakat dari beberapa daerah lain yang pernah mendapatkan program REDD+ seperti Papua, Aceh, dan Sulteng juga belum memahami sepenuhnya.
Warga Papua Barat Pesau, mengaku bingung dengan keberadaan program REDD+, karena masyarakat tidak mengetahui apa makna, maksud, keutungan, dan bagaiman mekanisme pelaksanaan di lapangan. Hal serupa disampaikan warga Aceh Julpiter Adman bahwa program REDD+ ini hanya baik dimata pemerintah. “Bahkan saya menilai program ini adalah model penjajahan kapitalisme, mengingat kalau negara maju ingin membatu kenapa harus ada perjanjian dan lain sebaginya,” katanya.
Arie Rompas mengharapkan diskusi ini menghasilkan beberapa alternatif di antaranya melakukan lobi langsung terhadap pemerintah maupun negara-negara maju dan mengampanyekan melalui media massa dengan harapan agar pemerintah dapat mendengar keluhan dari masyarakat dan membuat kebijakan yang berpihak kepada mereka.dkw/ant

Tim Pemburu Api Kerja Siang-Malam

Harian Umum Tabengan,  PALANGKA RAYA - Penanggulangan kebakaran hutan dan lahan yang menimbulkan kabut asap di Kalteng, selain dilakukan melalui operasi hujan buatan oleh Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), juga dengan cara operasi darat. Bahkan pada malam hari juga tetap melakukan pemadaman.
Mugeni, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalteng di Sekretariat Operasi Darat Posko Pengendalian Kebakaran Hutan, Lahan, dan Perkarangan Kalteng 2011, Senin (3/10), mengatakan, kebakaran saat ini cenderung terjadi pada malam hari atau sudah berubah pola agar tidak terpantau regu pemadam.
Operasi udara sudah dilaksanakan sejak Sabtu, 16 September lalu dan direncanakan hingga 16 Oktober 2011 mendatang. Hanya dalam pelaksanaannya terkendala minimnya ketersediaan awan comulus sebagai modal menyemai garam agar tercipta hujan. Dengan kendala tersebut, operasi darat lebih dioptimalkan, khususnya di wilayah Palangka Raya dan sekitarnya, mengingat di kabupaten lain juga sudah didirikan posko serupa.
Bahkan, sejak 22 September lalu, pemadaman juga dilakukan hingga malam hari. “Makanya ada tiga Manggala Agni yang ditugaskan di posko ini, dari Tagana ada 1 regu, tim pemadaman kebakaran dari Dinas Kehutanan Kalteng, dan pemadam kita,” katanya.
Lebih lanjut Mugeni mengatakan, seminggu sebelum 30 September lalu, kondisi cukup kering, bahkan dalam sehari lebih dari 200-300 hotspot, mengingat data itu hanya terpantau saat satelit NOAA berotasi di atas wilayah Kalteng. Sementara pada sore hari hotspot tersebut tidak terpantau lagi. Begitu juga dengan kebakaran yang terjadi cukup banyak. Pihaknya mengaku kewalahan menangani kondisi tersebut, sehingga kemungkinan operasi ini dilakukan hingga 16 Oktober mendatang, mengingat pada pertengahan Oktober diperkirakan sudah mulai masuk musim hujan.
Terpisah, Andreas Dody, Bidang Deteksi Dini Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalteng mengatakan, meski sebaran hotspot pada 1 dan 2 Oktober Kota Palangka Raya 0 titik, namun kabut asap tetap menyelimuti ibukota Kalteng tersebut. Kondisi ini disebabkan kebakaran yang terjadi di Pulang Pisau, Kapuas, dan beberapa daerah di Kalsel terbawa angin ke Palangka Raya.
Sesuai data satelit NOAA, 1-2 Oktober terdapat 71 titik, tertinggi berada di Pulang Pisau 24 titik, disusul Kapuas 14 titik, dan Katingan 9 titik. Masing-masing Palangka Raya, Kabupaten Barito Utara, dan Barito Timur selama 2 hari tersebut tidak terdapat titik panas. “Meski demikian, tetap perlu diwaspadai karena pola pembakaran lahan oleh masyarakat masih terjadi hingga saat ini,” katanya, kemarin.
Senada disampaikan Heru Widodo, Kepala Bidang Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pembuatan Hujan BPPT Pusat. Meski 0 titik, kata Heru, namun Palangka Raya yang merupakan pusat ekonomi Kalteng tetap menjadi prioritas dalam operasi hujan buatan. Sejauh ini, kendala awan tipis mengakibatkan penyemaian tidak menghasilkan hujan deras dan merata. Tapi, Heru menilai upaya mereka berhasil karena beberapa hari terakhir titik api menurun dibanding jumlah pada September lalu yang mencapai ratusan.
Berdasar pantauan udara, kabut asap merupakan kiriman dari Kalsel yang juga tengah dilanda kebakaran lahan dan pekarangan. Bahkan, Kepala BPBD Kalsel telah meminta Pemerintah Pusat agar melakukan operasi hujan buatan di Kalsel untuk memadamkan dan menurunkan jumlah titik api.
Meski demikian, hal ini tergantung dengan keputusan Pemerintah Pusat. Menurutnya, Kalteng masih memerlukan hujan buatan karena kebakaran pada lahan gambut belum sepenuhnya padam. Beberapa meter di kedalaman gambut masih menyimpan bara dan mengepulkan asap tebal. Selain itu, pembakaran lahan untuk kepentingan pertanian masih dilakukan masyarakat.

Kualitas Udara Membaik
Sementara itu, seiring hujan yang mulai mengguyur Palangka Raya, kabut asap semakin berkurang. Hal ini juga berdampak positif terhadap kualitas udara. Menurut hasil uji laboratorium terhadap indeks standar pencemaran udara (ISPU) dan konsentrasi pencemar udara yang dilakukan Laboratorium Lingkungan BLH Kota Palangka Raya, kualitas udara dengan parameter kritis PM10 (partikel berukuran kurang dari 10 mikron) pada 3 oktober, menunjukkan nilai ISPU 85.
Bahkan pada 2 hari lalu, nilai ISPU sempat turun hingga 65, turun dibanding sehari sebelumnya yang mencapai 82. Padahal, pada Kamis (29/9), konsentrasi pencemaran udara di Kota Palangka Raya sempat menujukkan angka tidak sehat, karena nilai ISPU berada pada angka 101.
Pada kategori sedang, udara tidak berpengaruh pada kesehatan manusia, tetapi berdampak pada tumbuhan. Namun pada kondisi tidak sehat, udara dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia yang sifatnya merugikan.
Dari pantauan Tabengan, setelah sempat turun hujan buatan di beberapa wilayah pada Sabtu (1/10), kondisi kabut asap sedikit berkurang, terutama waktu pagi hari, dari pukul 06.00 WIB hingga pukul 10.00 WIB. Tidak seperti hari sebelumnya, kabut asap cukup mengganggu aktivitas warga.
Di pihak lain, sebagian warga mengaku tetap khawatir, sebab kebakaran bisa muncul setiap saat dan memunculkan kabut asap. “Kalau kemarau masih berlanjut, asap masih bisa muncul lagi. Sebab, kebakaran hutan pasti akan tetap terjadi,” kata Hermanus, salah seorang pengusaha di Palangka Raya, kemarin. dkw/adn

Selasa, 13 September 2011

Status Siaga I Belum Dicabut

Status Siaga I Belum Dicabut
13-09-2011 00:00
Harian Umum Tabengan,  
PALANGKA RAYA
Kebakaran lahan yang menimbulkan kabut asap masih menjadi ancaman serius bagi Kalteng. Status Siaga I yang ditetapkan sejak Juli lalu, belum dicabut.
Meski hujan sempat mengguyur  sebagian besar wilayah Kalteng dan menjadikan kabut asap akibat kebakaran lahan dan pekarangan berangsur hilang, namun hal itu masih perlu diwaspadai. Berdasar informasi dari Daerah Operasi II, III, dan IV Manggala Agni Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) kalteng, dalam satu pekan terakhir tidak terjadi hujan, sehingga kondisi bahan bakaran menjadi kering kembali dan mudah terbakar jika tersulut api.
Bidang Deteksi Dini BKSDA Kalteng Adreas Dody kepada Tabengan, Senin (12/9), mengatakan, kondisi ini menjadikan status Siaga I yang ditetapkan pada awal Juli lalu, sampai saat ini belum dicabut. “Potensi kebakaran lahan masih tinggi dan kami terus memonitor untuk mengantisipasinya,” kata Dody.
Data hotspot (titik panas) yang terpantau setelit NOAA, 1-10 September 2011, terdapat 191 titik dan tersebar di kabupaten/kota di Kalteng. Hotspot terbanyak terdapat di Kabupaten Seruyan 47 titik, Kabupaten Lamandau 22 titik, Pulang Pisau 21 titik, dan Kotawaringin Timur 17 titik.
Sedangkan di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Katingan masing-masing 16 titik, Gunung Mas 12 titik, Kapuas 10 titik, Murung Raya dan Barito Utara masing-masing delapan titik, Sukamara tujuh titik, Barito Selatan empat titik, Barito Timur tiga titik, dan Kota Palangka Raya nol.
Menurut Dody, tidak adanya hostspot yang terpantau di wilayah Palangka Raya tidak lepas dari kerja sama semua pihak dan instansi terkait dalam melakukan pencegahan, penangulangan, dan pemadaman kebakaran. “Melihat data yang ada, kebakaran hutan, lahan, dan pekarangan berkurang jika dibandingkan bulan sebelumnya,” katanya.
Dody menyebut, terdapat beberapa daerah di Kalteng yang dinilai ekstrem karena bertanah gambut dan mudah terbakar. Jika terbakar, cenderung sulit dipadamkan dan mampu menghasilkan kabut asap tebal. Daerah tersebut, Kabupaten Katingan, Kapuas, Pulang Pisau, Kotawaringin Timur, Seruyan, dan Kotawaringin Barat. Sedangkan daerah lain, seperti Kabupaten Lamandau, meski jumlah hotspot cukup banyak namun jika terjadi kebakaran lahan mudah untuk dipadamkan karena tidak bergambut.
 
TN Tidak Terbakar
Terpisah, Kepala Dinas Kehutanan (Kadishut) Kalteng Sipet Hermanto, kemarin, memastikan bahwa kebakaran lahan yang terjadi di wilayah itu tidak terjadi di kawasan hutan lindung dan taman nasional (TN). ”Hingga saat ini, belum ada laporan telah terjadi kebakaran hutan di kawasan lindung seperti taman nasional,” kata Sipet.
Kalteng memiliki tiga kawasan TN, meliputi Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP), Taman Nasional Bukit Raya Bukit Baka (TNBRBB), dan Taman Nasional Sebangau (TNS). Dikatakan, hingga saat ini dari data yang dihimpun Dishut Kalteng, khusus di Palangka Raya, sepanjang 2011, kebakaran lahan telah menghanguskan sekitar 195 hektar. Selain lahan, kebun masyarakat juga ikut terbakar seperti kebun karet rakyat. "Jumlah kebakaran se-Kalteng belum ada laporan, karena data itu ada di BKSDA," tambah Sipet.
Disinggung apakah kebakaran yang terjadi di Kalteng juga melibatkan perkebunan besar swasta (PBS), menurut Sipet, dari laporan yang disampaikan, memang ada lokasi kebakaran di wilayah PBS. Namun hal ini masih perlu diteliti dan dibuktikan lebih lanjut untuk mengetahui apakah dilakukan dengan disengaja atau karena menjalar dari kebakaran di luar lahan PBS.dkw/str

Jumat, 09 September 2011

Titik Api Kalteng Tinggal 134

Titik Api Kalteng Tinggal 134
08-09-2011 00:00
Harian Umum Tabengan,  
PALANGKA RAYA
Titik api (hotspot) dari kebakaran hutan, lahan, dan pekarangan di wilayah Kalteng terus menurun seiring hujan yang mulai turun sejak Senin (30/8) lalu. Titik api yang terpantau satelit NOAA (National Oceanic dan Admospheric Administration), sejak sepekan terakhir hanya 134.
Sempat terjadi lonjakan titik api pada Jumat (2/9), mencapai 102 titik. Tapi akibat hujan deras pada Sabtu (3/9), titik api hilang sama sekali. Titik api baru muncul kembali pada Senin (5/9), dengan jumlah satu titik di Kabupaten Sukamara.
Di Palangka Raya dan Barito Timur (Bartim) dalam sepekan ini, malah tidak ada lagi terpantau. Kondisi ini tentu cukup menggembirakan. Sebab, selama Agustus kemarin, kebakaran terjadi di mana-mana. Titik api yang terpantau NOAA selama Agustus sempat mencapai 1.628 titik. Jumlah ini paling banyak jika dibanding Juli (325 titik), Juni (171 titik), Mei (48 titik), dan April (40  titik).
Kendati terjadi penurunan, Andreas Dodi dari Bagian Deteksi Dini Manggala Agni BKSDA Kalteng menilai penyebaran titik api masih akan terus berfluktuasi. “Berdasarkan pengalaman lima tahun terakhir, puncak titik api terjadi pada Agustus, September, dan Oktober,” katanya kepada Tabengan, Rabu (7/9). Namun demikian, Dodi mengingatkan masyarakat untuk tetap waspada terhadap kebakaran hutan, lahan, dan pekarangan.
Hal senada diungkapakan Kepala Seksi Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan (Dishut) Kalteng A Rudin Purba. Rudin mengaku penurunan titik api terjadi karena turunnya hujan beberapa hari terakhir ini.
Meski begitu, pihaknya terus melakukan pantauan pada lokasi-lokasi yang dinilai rawan kebakaran, terutama di Palangka Raya, Pulang Pisau, dan Kapuas. Beberapa daerah tersebut dipenuhi gambut, sehingga api kemungkinan belum sepenuhnya padam, meskipun satelit sudah tidak menemukan lagi titik api.
Jika dilihat dari data sebaran titik api selama satu bulan terakhir, Pulang Pisau paling rawan, sebab ditemukan 281 titik api selama Agustus. Daerah lainnya yang tak kalah rawan adalah Kapuas, Kotawaringin Timur (Kotim), dan Seruyan.
Bahkan untuk bulan ini, hingga Senin (5/9), di Seruyan telah terpantau 39 titik api, lebih banyak dibanding Pulang Pisau 18 titik, Lamandau 17 titik, Kotim 13 titik, Kobar 12 titik, Katingan dan Kapuas masing-masing 8 titik, Barut 7 titik, Sukamara 4 titik, Murung Raya 3 titik, dan Barito Selatan 1 titik. Hanya Palangka Raya dan Bartim yang selama sepekan terakhir tidak ada titik api.
Dengan adanya penurunan titik api saat ini, Rudin berharap masyarakat menghentikan kegiatan pembakaran. Masyarakat diminta untuk menjaga, meminimalisir, dan mengantisipasi terjadinya kebakaran dan kabut asap.  dkw/mel
 
TITIK API DI KALTENG
1-5 September 2011
Seruyan                      39
Pulang Pisau              18
Lamandau                  17
Kotim                          13
Kobar                          12
Katingan                      8
Kapuas                         8
Barut                            7
Sukamara                    4
Gunung Mas               4
Murung Raya              3
Barito Selatan             1
Palangka Raya            0
Barito Timur               0
TOTAL                       134
Sumber BKSDA Kalteng

Selasa, 06 September 2011

Hukum Adat dan Nasional Belum Sinkron

Hukum Adat dan Nasional Belum Sinkron

Harian Umum Tabengan, Hukum Nasional (positif) dengan hukum adat dinilai belum sinkron. Hal ini dapat terlihat bahwa pada beberapa persoalan hukum yang sudah diselesaikan secara hukum adat, namun tetap diproses secara hukum positif.

Budayawan Kalteng Kusni Sulang, yang juga tokoh masyarakat adat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng, Dosen Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya M Rakhmadiansyah Bagan, dan Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kalteng Sabran Ahmad ketika menjadi narasumber Dialog Publik Sinronisasi Antara Hukum Adat dan Hukum Nasional di Kalteng yang diselenggarakan AMAN Kalteng, di Aula Soverdi, Palangka Raya, Sabtu (30/7), mengatakan, lemahnya kelembagaan maupun hukum adat Dayak di Kalteng sehingga tidak bisa disinkronkan dengan hukum nasional.
Kusni menyebut, pada kasus-kasus tertentu seperti pembunuhan, meski persoalan tersebut sudah diselesaikan secara hukum adat, namun dari aparat keamanan juga tetap memproses kejadian tersebut.
Ini menjadi salah satu bukti bahwa hukum adat dan hukum nasional masih belum bisa sinkron, padahal jauh sebelum negara ini ada kearifan lokal hukum adat tersebut sudah ada. Diharapkan, hukum yang lahir sesudahnya dapat menghormati hukum yang sudah lahir sebelumnya, ujar Kusni.
Kusni menegaskan, Kalteng sudah punya Perda No.16/ 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalteng namun dinilai masih belum mampu menyelesaikan sengketa-sengketa adat yang terjadi di tengah masyarakat. Ini terjadi karena selain pengakuan hak masih lemah, juga karena kelembagaan adat yang ada dinilai masih belum memadai.
“Perlu adanya pelatihan terhadap para Damang dan Mantir Adat mengenai tugas dan fungsinya, karena di beberapa daerah ada ditemui mantir adat justru berasal dari orang luar Kalteng,” katanya.
Tidak hanya itu, Perda Kelembagaan Adat Dayak di Kalteng juga dirasa perlu dilakukan berbagai pembenahan lagi, mengingat dinilai masih terdapat celah atau kekurangan. Karena dinilai dengan perda tersebut masyarakat adat Kalteng tidak bisa hidup seperti dulu dan terkesan terkungkung serta hak-haknya secara tidak langsung dipinggirkan. Terkesan, perda tersebut berpihak pada pemilik modal.
Sementara Rakhmadiansyah Bagan mengatakan, agar hukum adat di Kalteng bisa diakui keberadaannya secara Nasional maka kelembagaan adat dan SDM orang-orangnya harus lebih diperkuat lagi.
Kelembagaan adat yang ada saat ini dinilai masih lemah. Ini dapat terlihat bahwa masyarakat adat yang ditangkap oleh aparat, namun tidak pernah dilakukan tindakan hukum adat sebagai upaya perlindungan hukum. “Maka kita kembalikan ke pranata sosialnya, lembaga adatnya, dan SDM yang mengelola itu, sehingga mereka bisa bicara atas nama rakyat,” kata Adi Bagan—panggilan akrab Rakhmadiansyah Bagan.
Disebutkan Adi, pemerintah sudah mengakomodir mengenai adat. Misalnya dalam UU No.10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Seandainya hal itu tidak dimasukkan, maka hak masyarakat untuk melakukan judicial review. Tapi sayangnya, hak-hak itu tidak pernah digunakan. Meski demikian, ia menilai bahwa yang disebut dengan sinkronisasi tersebut bukan berarti hukum adat harus setara dengan hukum nasional. Tapi lebih bagaimana pengakuan terhadap hukum lokal dan hak-hak masyarakat lokal tersebut.
Sedangkan Sabran Ahmad mengakui, kelembagaan adat yang ada saat ini dinilai masih lemah. Meski demikian, saat ini pihaknya terus melakukan pembenahan baik secara kelembagaan maupun SDM para Damang dan Mantir Adat yang ada serta melakukan sosialisasi ulang Perda Kelembagaan Adat Dayak di Kalteng.
Dalam pembukaan acara itu, Ketua Badan Pelaksana Harian (BPH) AMAN Wilayah Kalteng Simpun Sampurna dalam sambutan tertulis dibacakan BPH AMAN Kalteng Stevievebrialisna mengatakan, dialog publik tersebut dilaksanakan sebagai perjuangan untuk memastikan perlindungan dan hak-hak masyarakat adat.
Ketua Panitia Pelaksana Nindita Nareswari menjelaskan, tujuan dialog ini untuk melakukan upaya sinkronisasi antara hukum adat dan hukum nasional dalam menyelesaikan sengketa dan mencegah timbulnya konfik berkelanjutan. Kemudian, mendukung tercapainya konsep restorative justice di Indonesia, mencari nilai-nilai kearifan lokal, dan meningkatkan ketahanan Nasional.dkw