Disbun
Provinsi Kalteng menyebutkan penanganan budidaya dan pengolahan mutu hasil
perkebunan karet, belum optimal. Ini menjadikan produktivitasnya menjadi
rendah.
PALANGKA
RAYA – Usaha
perkebunan menjadi salah satu sektor primadona di Provinsi Kalteng. Bahkan,
sektor ini mampu menyerap tenaga kerja lebih besar dibandingkan sektor-sektor
lainnya.
“Namun
sayangnya, tingkat produktivitas di sektor perkebunan masih rendah. Salah satu
penyebabnya adalah penanganan budidaya dan pengolahan mutu hasil
yang belum optimal,” kata Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Provinsi Kalteng
Rawing Rambang, pada pembukaan Pertemuan Penguatan Jaringan Pemasaran Kawasan
Perkebunan Karet, di Hotel Luwansa, Palangka Raya, Kamis (27/6).
Ia
menyebutkan, Provinsi Kalteng merupakan salah satu daerah potensial untuk
pengembangan tanaman karet. Tamanan ini menjadi komoditi utama dan komoditi
sosial yang digeluti secara turun-temurun oleh masyarakat di wilayah itu.
Hingga kini,
luas areal tanaman karet di Provinsi Kalteng 485.716,12 hektare dengan jumlah
produksi mencapai 256.195,37 ton karet kering. Kalau dihitung, tingkat
produktivitas rata-rata di Kalteng mencapai 792-800 kg/hektare/tahun karet
kering.
“Luas areal
karet tersebut didominasi oleh perkebunan rakyat. Sedangkan untuk perkebunan
besar swasta (PBS) dan perseroan terbatas perkebunan atau perkebunan inti
rakyat (PTP/ PIR), hanya sedikit,” kata Rawing pada pertemuan yang
dihadiri puluhan peserta tersebut.
Sampai
dengan 2013, terdapat 4 pabrik karet atau crumb rubber di
Kalteng. Masing-masing PT Sampit di Kabupaten Kotawaringin Timur, PT Karya
Sejati di Kabupaten Kapuas, PT Bumi Asri Pasaman di Kabupaten Barito
Selatan, dan PT Borneo Makmur Lestari di Kota Palangka Raya. Keempat perusahaan
tersebut memiliki kapasitas terpasang antara 100-300 ton bokar per hari.
Sementara
untuk pengembangan pemasaran dalam negeri, lanjut Rawing, diarahkan bagi
terciptanya mekanisme pasar yang berkeadilan serta sistem pemasaran yang
efisien dan efektif. Selain itu, meningkatnya posisi tawar petani serta
meningkatnya konsumsi terhadap produk pertanian Indonesia dan terpantaunya
harga komditas hasil perkebunan.
Sedangkan
untuk mewujudkan bahan olah karet rakyat (bokar) sesuai dengan standar
persyaratan yang ditentukan, salah satu sarana yang dipersiapkan adalah
tersedianya fasilitator penerapan jaminan mutu bokar di tingkat unit pengolahan
dan pemasaran bokar (UPPB).
“Dalam
konteks peningkatan mutu Bokar di Provinsi Kalteng, ada beberapa hal yang
menjadi kendala dan perlu ditangani secara serius. Di antaranya, kebersihan
bokar secara umum masih rendah dan sulitnya mendapatkan pembeku lateks anjuran
di tingkat petani,” terangnya.
Selain itu,
masih adanya asumsi petani bahwa berat bokar yang dibeli pabrikan bukan K3m
sehingga menyebabkan petani selalu merendam bokar. Termasuk belum adanya
transparansi harga di tingkat petani, pemasaran bokar masih didominasi oleh
pedagang pengumpul atau tengkulak akibat kelembagaan petani pengolah yang masih
lemah.
Untuk mengatasi
berbagai permasalahan tersebut, ujar Rawing, telah dilakukan berbagai upaya. Di
antaranya, membuat aturan tentang wajib penerapan Standar Nasional Indonesia
(SNI) Bokar melalui Instruksi Gubernur Kalteng No.11/2004 dam meningkatkan SDM
petugas maupun petani.
“Juga
memberikan bantuan penguatan modal kepada kelompok petani pengolah,
berkoordinasi dengan Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo)
Kalsel-Kalteng (Kalselteng) untuk memperbaiki mutu bokar,” katanya.dkw