PALANGKA RAYA – Ketersediaan fasilitas pengisian bahan bakar
minyak (BBM) di wilayah Kalteng dinilai kurang memadai. Terutama bila
dibandingkan antara luasnya yang mencapai 1,5 kali Pulau Jawa dan jumlah desa,
kelurahan, kecamatan, serta kabupaten/kota.
Dengan keterbatasan tersebut,
apabila PT Pertamina tidak bisa memenuhi fasilitas yang ada, maka Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No.1/2013 tentang
Pengendalian Penggunaan BBM, tidak bisa dilaksanakan secara efektif di Kalteng.
“Kalau mengikuti instruksi yang
ada, peraturan ini (Permen ESDM No 1/2013) tidak bisa dijalankan, terutama di
daerah pedalaman. Karena Pertamina tidak bisa menyalurkan BBM sampai ke desa
dan kecamatan,” ujar Wakil Gubernur Kalteng Achmad Diran, pada Rapat
Pengendalian BBM Bersubsidi di Kalteng, di di Aula Eka Hapakat, Kompleks Kantor
Gubernur, Kamis (14/2).
Rapat yang dipimpin Diran
tersebut dihadiri pihak-pihak terkait. Selain Sekretaris Derah Provinsi Kalteng
Siun Jarias, hadir Ketua DPRD Kalteng R Atu Narang, Kapolda Kalteng Brigjen
Polisi Bachtiar Hasanudin Tambunan, Danrem 102/Pjg Kol Irwan, Wakil Kejaksaan
Tinggi Kalteng Anthony Soediarto, Kadisbun Kalteng, pengurus SPBU, serta para
pihak yang terkait.
Saat ini, sebut Diran, jumlah
SPBU di Kalteng 39 unit, agen premium, minyak, dan solar (APMS) 36 unit, Solar
Packet Dealer Nelayan (SPDN) 4 unit, dan Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBB)
sebanyak 4 unit.
“Masih ada beberapa daerah yang
tidak memiliki SPBU, sehingga menjadi masalah dan menimbulkan praktik
pelangsir. Di sisi lain, kalau tidak ada pelangsir, darimana masyarakat di
daerah pedalaman itu mendapatkan BBM,” ujar Diran.
Sekretaris Derah Provinsi
Kalteng Siun Jarias menimpali pernyataan Diran dengan mempertanyakan siapa yang
legal untuk mendistribusian BBM ke daerah, mengingat keterbatasan SPBU di
provinsi tersebut. Sebab di sisi lain, PT Pertamina sendiri tidak mampu
menyalurkan BBM sampai ke daerah pedalaman.
“Dengan adanya penyalur BBM yang
legal, maka diharapkan penindakan dapat lebih mudah dan maksimal. Karena,
selain yang legal ini, yang lainnya tidak diperbolehkan untuk menyalurkan BBM,”
katanya.
Ketua DPRD Kalteng R Atu Narang
mengatakan, SPBU dijanjikan berdiri di setiap kabupaten, namun kenyataannya
sampai saat ini masih ada kabupaten yang belum memilikinya. Menurut Atu, hal
ini terjadi karena keterbatasan dana dari swasta untuk mendirikan SPBU
tersebut.
Untuk membangun 1 SPBU
diperkirakan memerlukan dana Rp4-5 miliar. Sehingga kalau kuotanya di bawah 20
ton per hari, maka pemilik SPBU tersebut akan rugi.
Karena itu, ia berpandangan
bahwa Peraturan Menteri ESDM No.1/2013 hanya bisa dilakukan di Pulau Jawa,
mengingat di wilayah Kalteng terbatas infrastrukturnya.
Sementara Kapolda Kalteng
Brigjen Polisi Bachtiar Hasanudin Tambunan mengatakan, sulitnya penanganan
persoalan BBM, karena dalam penegakannya masih ada pengecualian-pengecualaian.
Kondisi ini menjadikan petugas di lapangan cukup kesuliatan.
Untuk itu, menurut dia, harus
disiapkan rencana tindak lanjut secara terpadu dan melibatkan instansi terkait.
Selain itu, perlu pendataan semua kendaraan secara valid dengan kategori mobil
kebun, tambang, dan hasil hutan.
Dari hasil pendataan tersebut,
ditindaklanjuti dengan rencana penempatan stiker dan pertamina perlu persiapkan
SPBU yang melayani BBM nonsubsidi. Juga ditetapkan sistem pengawasan terhadap
alat angkutan yang dipergunakan untuk kebun, tambang, angkutan hasil hutan, dan
transportasi laut.
Wakil Kejaksaan Tinggi Kalteng
Anthony Soediarto mengatakan, jumlah kasus mengenai BBM ini memang juga cukup
banyak. Namun yang tertangkap kasus kecil dan yang besarnya belum terungkap.
“Karena itu, kalau yang kecil ini dilakukan tindakan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, ini sangat berat dan dinilai tidak memenuhi rasa
keadilan. Karena mereka melakukan itu hanya untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari,” ujarnya.dkw