Sabtu, 04 Februari 2012

Sedih Berlangganan Banjir Setiap Waktu

20-09-2010 00:00 
Harian Umum Tabengan,  Kisah pilu bencana banjir tak henti-hentinya melanda negeri ini. Tanpa kecuali daerah Kota Palangka Raya, Ibukota Provinsi Kalteng. Tidak sedikit masyarakat menjerit kelaparan, tak bisa sekolah, sakit, dan sulit beraktivitas gara-gara rumahnya jadi langganan banjir. Halaman rumah Ajisiah masih becek dan kotor. Sejak banjir menerjang kawasan Jalan Mendawai, Kelurahan Palangka, Kecamatan Jekan Raya, beberapa hari lalu, hampir semua rumah, terutama di Jalan Mendawai IV terendam. Meski pemerintah sudah menyediakan banyak anggaran dan seabrek peralatan untuk membantu korban bencana, tapi tidak serta-merta bantuan tersebut dapat dikucurkan ketika banjir menerjang. Penduduk setempat tetap dirundung kesedihan. Apalagi, genangan air bisa setinggi lutut orang dewasa. Dari pantauan Tabengan, Minggu (19/9) siang, beberapa lokasi rumah dan ruas jalan masih tergenang air. Warga terpaksa menjemur kasur dan seperangkat perabotan rumah tangga yang basah di luar rumah. Yang membuat ironi, keadaan tak mengenakkan harus berlangganan banjir ini sudah berlangsung lama, bertahun-tahun. Tidak hanya ‘menyerang’ rumah, banjir juga telah merusak badan jalan. Dari muara terlihat lubang-lubang kecil dan sampah yang ditinggalkan banjir. Belum lagi batu-batu tajam akibat aspal yang sudah rusak tertutup air, juga menambah pemandangan menjadi sangat tidak sedap. Titi dan Ajisiah, dua orang ibu rumah tangga warga Jalan Mendawai IV mengungkapkan, selama tahun 2010 sudah terjadi delapan kali banjir cukup parah menggenangi rumah-rumah mereka. Rendaman air lambat turun karena daerah tersebut lebih rendah dari daerah lainnya. Parahnya, selama ini pihaknya belum pernah menerima bantuan dalam bentuk apapun dari siapapun. Karena itulah, mereka meminta kepada aparatur pemerintah dapat mencarikan solusi agar dapat terhindar dari banjir. “Bagaimana baiknya saja, kalau kami ngikut saja, yang penting kami bisa bebas dari banjir ini,” kata Titi diiyakan Ajisiah. Mereka bersedia bila pemerintah meminta untuk pindah ke daerah yang lebih tinggi, asalkan ada perumahan untuk tempat tinggal. Selama ini, mereka tak bisa tidur nyenyak bila hujan lebat tiba. Bahkan, sering terbangun di tengah malam buta untuk menyelamatkan barang-barang dan terjaga akibat tempat tidurnya sudah basah karena air mulai masuk dalam rumah. Bahkan, pada Januari lalu, selama seminggu warga Mendawai tak bisa beraktivitas dan harus mengungsi ke bangunan Pasar Kahayan yang sekarang. Soalnya, air yang sudah mencapai palang kaca rumah atau setinggi lutut orang dewasa. Namun, lagi-lagi bantuan tidak kunjung datang, meski pihaknya mendengar ada batuan yang diberikan kepada Ketua RT setempat, tapi ketika ditanyakan, justru sebaliknya mereka malah ditanya balik. “Seakan-akan tidak tahu dengan keadaan warganya, sementara setiap hari ia melewati lokasi tersebut. Kami malas untuk menanyakannya lagi,” ujar Titi. Titi menceritakan, banjir yang baru-baru ini melanda membuat keluarganya bagaikan jatuh tertimpa tangga. Karena, selain menjadi korban banjir, juga harus mengobati anak yang terkena cacar air dampak musibah banjir. Penyakit menular bermunculan akibat sampah berhamburan terbawa arus. Air pun menjadi bau lantaran septic tank warga banyak yang terendam dan sengaja dibuka. Tentu saja, rawan menimbulkan berbagai penyakit kulit, seperti gatal-gatal, cacar air, dan diare. Banjir juga memaksa sekolah taman kanak-kanak yang ada di daerah tersebut sering diliburkan, transportasi terhambat, anak-anak tak bisa sekolah, dan tak jarang kendaraan masyarakat sering rusak karena tergenang air. Selain Jalan Mendawai, banjir juga menjadi langganan di daerah Petuk Katimpun, Bereng Bengkel, dan Pahandut Seberang. Anehnya, sampai sekarang belum ada solusi jelas dan tindakan yang begitu berarti dari Pemerintah Kota untuk mengatasi masalah ini. Masyarakat hanya selalu diminta bersabar. debi kriswanto