2012-10-19
Harian Umum Tabengan,
PALANGKA RAYA – Saat menghadiri
seminar nasional di DPD RI, Pemprov Kalteng memberikan sejumlah rekomendasi
mengenai dana bagi hasil.
Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kalteng, Jaya
Saputra Silam, mengatakan, untuk mendapatkan dana bagi hasil (DBH), khususnya
dari pajak ekspor crude palm oil
(CPO) dan palm kernel oil
(PKO), Pemprov Kalteng menyampaikan beberapa rekomendasi ke Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) Republik Indonesia.
Di antaranya, mengusulkan perubahan UU No.33/2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
terutama pada bagian kedua dana bagi hasil Pasal 11 ayat 2, agar ditambah 1
poin yaitu pajak ekspor atas CPO dan PKO. Selain itu, mengusulkan perubahan UU
No.28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, untuk mengalihkan pajak
bumi bangunan sektor perkebunan menjadi pajak daerah.
Rekomendasi tersebut, kata Jaya, terdapat di dalam
materi paparan Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang saat menghadiri seminar
nasional DPD RI tentang bagi hasil sektor perkebunan sebagai salah satu sumber
penerimaan dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) di Gedung DPD RI
di Jakarta, 11 Oktober 2012 lalu.
Jaya menambahkan, rekomendasi tersebut disampaikan
dengan memerhatikan beberapa hal. Di antaranya, Provinsi Kalteng memiliki
potensi yang sangat besar dari hasil perkebunan khususnya CPO dan PKO, namun
kontribusi sektor perkebunan terhadap pendapatan daerah, baik ke kelompok
pendapatan asli daerah maupun dana perimbangan dinilai sedikit.
Selain itu, dana bagi hasil dari hasil perkebunan
berupa CPO dan PKO belum ada kontribusinya terhadap pendapatan daerah Provinsi
Kalteng. Padahal, dalam UU No.33/2004, pada poin Menimbang huruf (b) intinya
mengatur perimbangan keuangan, pemanfaatan sumber daya alam harus diatur secara
adil dan selaras.
Kemudian, pada pasal 11 ayat 1-3 dan sejalan pula
dengan PP No.55/2005 tentang Dana Perimbangan, secara keseluruhan dari bunyi
pasal-pasalnya tidak ada memuat pengaturan tentang dana bagi hasil dari sektor
perkebunan.
Karena itu Jaya mengharapkan agar ada perubahan UU
No.33/2004, terutama tentang pajak ekspor hasil kebun karena selama ini yang
diatur hanya tambang, hutan, dan kebun. Dengan tidak diaturnya hasil produksi
sektor perkebunan, sehingga yang bisa menjadi pemasukan bagi daerah dari sektor
perkebunan hanya pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak penghasilan (PPh) 21, 25,
29, dan dana bagi hasil. Padahal, hasil ekspor CPO dan PKO dari Kalteng cukup
besar.
Diberitakan sebelumnya, dalam seminar
tersebut DPD RI mendorong terwujudnya perimbangan keuangan pusat dan daerah
sesuai dengan kekayaan di daerah (sumber daya alam), sehingga ada dana bagi
hasil antara pusat dan daerah dengan adil.
Dana
bagi hasil atas sumber daya alam di daerah sangat minim. Sebab, keadilan
keuangan untuk daerah penghasil kekayaan alam yang besar tersebut guna
membangun daerah sendiri, yang selama ini ternyata meski daerah bersangkutan
kaya, tapi kehidupan rakyatnya menderita, susah, dan terpinggirkan.
“Ini mencerminkan demokrasi yang ada selama ini adalah demokrasi politik
dan bukannya demokrasi ekonomi yang mewujudkan kesejahteraan rakyat (daerah).
Keuangan itu sebagai kunci yang berfungsi untuk mewujudkan pemerataan
pembangunan. Ternyata meski telah berganti rezim dari otoriter ke reformasi,
tapi demokrasi politik belum diiringi dengan demokrasi ekonomi, karena
peredaran keuangan terbesar masih di Jakarta, dan kecil untuk daerah,” kata
Ketua DPD RI Irmas Gusman.dkw