Selasa, 25 Oktober 2011

Kalimantan Belum Bebas Flu Burung dan Rabies

Kalimantan Belum Bebas Flu Burung dan Rabies
Dapat Menular ke Manusia dan Sebabkan Kematian
Penyakit flu burung dan rabies masih menjadi ancaman bagi masyarakat
di Pulau Kalimantan karena belum terbebas dari kedua penyakit
tersebut. Berbagai upaya penanggulangan dan pencegahan dirumuskan
dalam rapat koordinasi regional Kalimantan di Palangka Raya.

PALANGKA RAYA, Tabengan: Provinsi Kalteng belum sepenuhnya terbebas
dari flu burung dan rabies yang merupakan dua jenis penyakit hewan
menular strategis. Kedua penyakit itu perlu mendapat penanganan serius
karena dapat menular pada manusia dan menyebabkan kematian.
Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang dalam sambuatan tertulis yang
dibacakan Wakil Gubernur Achmad Diran pada pembukaan Rakor Regional
Rabies dan Flu Burung Se-Kalimantan di Hotel Luwansa, Palangka Raya
Senin (24/10), mengatakan, penyakit hewan tersebut tidak hanya
menggangu kesehatan dan berakibat pada kematian, namun berdampak pula
pada ganguan ekonomi, ketentraman, dan kesejahteraan masyarakat.
Flu burung pada unggas pertama kali muncul di Kalteng pada 2003 di
Kabupaten Kotawaringin Timur. Berbagai upaya penanggulangan yang
dilakukan pemerintah daerah berhasil menangani penyakit tersebut
dengan baik, sehingga sejak Maret 2004 lalu dan sepanjang 2005-2006
tidak ada lagi kasus yang dilaporkan. Namun pada 2009 hingga sekarang,
di kabupaten itu  muncul kembali terutama pada saat peralihan musim,
meski tidak ditemukan penularan ke manusia.
Sedangkan penyakit rabies pertama kali muncul di Kalteng pada 1978 di
Kabupaten Barito Selatan yang diduga masuk melalui anjing yang di bawa
dari Kaltim dan kasus tersebut sekarang menyebar hampir ke seluruh
kabupaten/kota di Kalteng. Dengan semakin tingginya arus mobilisasi
penduduk dan terbukanya jalur lintas Kalimantan, lanjut Teras, potensi
penularan semakin terbuka. Untuk itu, dituntut kewaspadaan dari semua
pihak terhadap ancaman penularannya.
Di Kalteng, kasus gigitan hewan penular rabies khususnya anjing, pada
2009 terdapat 619 kasus, yang mendapatkan vaksin anti rabies sebanyak
408 kasus dan spesimen positif rabies pada anjing sebanyak 7 kasus.
Pada 2010 terdapat 1.188 kasus, mendapatkan vaksin anti rabies
sebanyak 787 kasus, meninggal dunia satu kasus, dan spesimen positif
rabies pada anjing sebanyak 22 kasus.
Sedangkan pada 2011 hingga Oktober terdapat 858 kasus. Mendapatkan
vaksin anti rabies sebanyak 561 kasus, meninggal dunia 1 kasus,
spesimen positif rabies pada anjing sebanyak 31 kasus. Menurutnya,
upaya penangulangan kedua penyakit ini sangat terkait erat dengan
tingkat partisipasi masyarakat. Karena itu, perlu dilakukan pola
pedekatan, strategi, dan upaya berkesinambungan sesuai dengan kondisi
dan budaya setempat.
Ia menyebutkan, sesuai dengan peraturan yang berlaku dan kesepakatan 4
gubernur di Kalimantan tentang pelaksanaan pembebasan rabies se-Pulau
Kalimantan, harus ditindaklanjuti dengan program dan upaya intensif
dari Tim Koordinasi Rabies maupun Komda Flu Burung di masing-masing
provinsi dan kabupaten/kota. “Kami berharap agar rakor ini
menghasilkan rumusan yang tepat dan ditindaklanjuti di lapangan,
sehingga ke depan Pulau Kalimantan dapat bebas dari penyakit rabies
dan flu burung,” tegas Teras.
Sementara Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian
Pertanian dalam sambutan tertulis yang dibacakan Direktur Kesehatan
Hewan drh Fuziatmoko, mengatakan hal serupa. Ia menegaskan, flu burung
dan rabies merupakan penyakit hewan menular dan masuk dalam 12
penyakit hewan menular yang strategis. Karena itu, upaya pembebasan
menjadi hal prioritas yang harus didukung dengan berbagai peraturan
dari pemerintah terkait. Selain itu, perlu ada kerjasama dari semua
pihak dalam rangka mencapai Indonesia bebas rabies 2020 mendatang.
Ia melanjutkan, penyebaran kedua jenis penyakit itu perlu mendapatkan
perhatian. Sebab, flu burung sudah menyebar di 32 dari 33 provinsi di
Indonesia, kecuali Maluku Utara. Kasus terbesar terdapat di Pulau
Jawa, Lampung, dan Sulawesi Selatan. Sementara Kalteng termasuk dalam
kategori sedang dan sudah menargetkan bebas flu burung pada 2014
mendatang.
Ketua Panitia Rakor Tute Lelo yang juga Kepala Dinas Pertanian dan
Peternakan Kalteng menjelaskan tujuan kegiatan yang berlangsung 24-25
Oktober. Rakor itu bertujuan untuk mengevaluasi situasi kasus rabies
dan flu burung serta perkembangan upaya pembebasan di Kalimantan.
Selain itu, mengevaluasi realisasi kegiatan pembebasan rabies dan flu
burung dari 2010 hingga September 2011.
Termasuk  menetapkan rencana pemberantasan dan pembebasan rabies dan
flu pada kegiatan triwulan IV 2011 dan 2012 mendatang, merumuskan
pedoman operasi dalam rangka Pulau Kalimantan bebas dari rabies dan
flu burung, serta menetapkan kebijakan dan rencana startegis
pembebasan rabies dan flu burung.
Peserta berjumlah 110 orang yang berasal dari Kementerian Pertanian,
Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Dalam Negeri. Juga dari Tim
Koordinasi, Balai Karantina Pertanian se-Kalimantan dan berbagai
instansi terkait lainnya.dkw

Rabu, 19 Oktober 2011

Warga Dayak Bersatu

19-10-2011 00:00 
Harian Umum Tabengan,  
PALANGKA RAYA
Hasil pertemuan Forum Silahturahmi Tokoh-tokoh Masyarakat Dayak se-Kalimantan (FSTDK), 14-15 Oktober lalu, di Samarinda, Kaltim, menghasilkan beberapa kesepakatan yang intinya, masyarakat Dayak harus bersatu dan menjadi tuan di daerahnya sendiri.
Yansen A Binti, koordinator rombongan tokoh masyarakat Dayak Kalteng, didampingi beberapa pengurus Gerakan Pemuda Dayak Indonesia (GPDI) dan tokoh masyarakat Dayak Kalteng saat jumpa pers di Gedung Betang, Kompleks Kantor Gubernur Kalteng, Selasa (18/10), menegaskan, tidak bisa ditawar-tawar lagi bahwa masyarakat Dayak dari berbagai daerah harus bersatu.
Hasil pertemuan tersebut melahirkan beberapa poin antara lain, masyarakat Dayak se-Kalimantan sepakat bahwa salam persatuan masyarakat Dayak adalah Adil Ka’ Kalin0, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Kajubata atau adil terhadap sesama, hidup baik pada jalan kebenaran. Masyarakat Dayak juga sepakat bahwa di manapun bumi di pijak, di situ langit dijunjung, baik investor, tokoh-tokoh maupun kader-kader bangsa, ketika mereka datang ke sini harus menghormati adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat Dayak.
Selain itu, dalam forum tersebut masyarakat Dayak juga sepakat,  pemukiman atau daerah yang mayoritas penduduknya orang Dayak, kepala daerahnya  harus orang Dayak. Karena itu, orang Dayak dipersilakan untuk bersaing dan menjadi yang terbaik.
Hal tersebut, kata Yansen, salah satu wujud pengabdian dari masyarakat Dayak terhadap Bangsa dan Negara ini, karena pengabdian tersebut tidak harus menduduki pemerintahan di tingkat pusat. “Orang Dayak sudah siap, yang tidak siap, karena adanya isu-isu yang memecah belah masyarakat Dayak,” lanjutnya.
Ia menilai, hal ini (dianggap tidak siap) memang tidak terlihat, namun dapat dirasakan antara lain yang membawa isu-isu agama dan suku yang dikampanyekan dengan manis, sehingga tidak tampak secara kasat mata. Sementara untuk memperjuangkan agar kepala daerah tersebut adalah orang Dayak, pihaknya diminta lebih proaktif menyampaikan hal tersebut kepada sejumlah partai. Ke depan diharapkan agar partai-partai tersebut wajib memperjuangkan agar yang dicalonkan adalah orang Dayak.
Selanjutnya, masyarakat Dayak juga sepakat satu-satunya organisasi masyarakat Dayak hanya Majelis Adat Dayak Nasional (MADN), sehingga organisasi-organisasi Dayak lainnya harus berada di bawah MADN.
Dari pertemuan tersebut, kata Yansen, juga disepakati untuk meminta perlakuan khusus dalam hal meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat Dayak di daerah perbatasan.
Untuk menindaklanjuti hal ini, pihaknya beberapa waktu ke depan akan mengirimkan proposal kepada Pemerintah Pusat agar tidak hanya memperhatikan peningkatan keamanan masyarakat di daerah perbatasan, namun juga kesejahteraannya.
Dalam sektor investasi, pihaknya juga sepakat pembagian hasil usaha tersebut pada 2012 mendatang harus 50-50 persen, antara investor dan daerah di mana sumber daya alam itu berasal. Karena kalau tidak seperti itu, masyarakat tidak akan bisa menikmati pembangunan yang maksimal.
Untuk mewujudkan ini, pihak perusahaan diminta melaksanakan corporate social responsibility (CSR) untuk memberdayakan masyarakat di sekitarnya. Terlebih saat ini sesuai kebijakan Gubernur, perusahaan harus menyiapkan 20 persen kebun plasma dari luas izin yang diusahakan dan pemerintah diminta memfasilitasinya.
Dari pertemuan tersebut masyarakat Dayak juga sepakat, pada 2014 mendatang siapapun Presidennya diharapkan agar ada menteri yang berasal dari orang Dayak. “Bahkan kapan perlu kenapa tidak mencalonkan Agustin Teras Narang sebagai Presiden,” katanya.
Masyarakat Dayak menilai Teras sosok lokal yang berwawasan nasional, bahkan internasioanl serta nasionalis, namun hal ini harus didiskusikan dan mendapatkan dorongan. “Meski demikian, semua itu tergantung dari masyarakat Dayak sendiri, namun kalau semua masyarakat bersatu, tidak ada hal yang tidak mungkin dapat dicapai,” kata Yansen. dkw

 

Senin, 17 Oktober 2011

Perlu Waktu 10 Tahun Pulihkan Potensi Perikanan

16-10-2011 00:00
Harian Umum Tabengan,  
PALANGKA RAYA
Dinas Kelautan dan Perikanan Kalteng mengingatkan agar masyarakat tidak melakukan praktik illegal fishing, karena mengancam kelestarian ekosistem dan kehidupan masyarakat. Diperlukan waktu sekitar 10 tahun untuk memulihkan dampaknya.
Kalteng memiliki sumber daya alam (SDA) perikanan di Kalteng melimpah. Provinsi itu memiliki perairan seluas 2.290.000 hektare, 11 daerah aliran sungai (DAS) besar, 690 danau, dan 1,8 juta hektare rawa yang bisa dimanfaatkan untuk usaha perikanan budidaya maupun tangkap.
Selain itu, garis pantai Laut Jawa sepanjang 750km membentang di 7 kabupaten dengan luas laut 944.500 hektare. Kabupaten itu, Sukamara, Kotawaringin Barat, Seruyan, Kotawaringin Timur, Katingan, Pulang Pisau, dan Kapuas. Potensi itu memiliki 270 spesies ikan air tawar, 92 spesies ikan hias, dan 20 jenis ikan langka.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kalteng Darmawan, memaparkan, sektor perikanan di wilayah itu meliputi perikanan tangkap dan budidaya dengan total produksi pada 2010 sekitar sebesar 126.122,18 ton. Dengan rincian, perikanan budidaya 24.922,98 ton (19,76 persen) dan perikanan tangkap sebesar 101.338,4 (80,24 persen). Sedangkan tahun ini, jumlah produksi ditargetkan sebesar 103.264,3 ton.
Darmawan menegaskan, meski potensi SDA perikanan di Kalteng melimpah, namun masyarakat diingatkan untuk tidak melakukan aktivitas penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing). Masyarakat  dilarang untuk menangkap ikan dengan cara meracun, menyetrum, maupun menggunakan bom.
“Praktik illegal fishing seperti itu bisa berdampak buruk bagi ekosistem lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat sekitar,” kata Darmawan di sela-sela Pertemuan Forum Koordinasi Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Ikan (FKPPS) Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP-712) Laut Jawa 2011, di Hotel Luwansa, Palangka Raya, baru-baru ini.
Menurutnya, cara seperti itu bukan hanya membunuh ikan berukuran besar, melainkan ikan kecil pun turut mati. Apabila kondisi ini dibiarkan, Darmawan khawatir ekosistem dan kelangsungan potensi perikanan Kalteng musnah dan tidak bisa dinikmati generasi berikutnya. Sebab, jika perairan itu diracun, memerlukan waktu sekitar 10 tahun untuk mengembalikan populasi ikan kembali normal seperti kondisi sebelumnya.
Di sisi lain, UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan imbauan Gubernur Kalteng pada 2009 lalu mengenai larangan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan-bahan beracun telah mempertegas jika ada oknum masyarakat tertangkap tangan melakukan aktivitas illegal fishing terancam sanksi. Sebagai bentuk keseriusan, pihaknya telah menjalin kerjasama dengan aparat kepolisian setempat agar pelaku bisa diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Langkah lain yang ditempuh, lanjut Darmawan, antara lain melakukan pengawasan dan razia dengan menurunkan petugas untuk mengawasi aktivitas di lapangan. Ia berharap, masyarakat juga terlibat melakukan pengawasan. “Saat ditemukan gerak-gerik mencurigakan dan diduga akan melakukan penyetruman atau meracun ikan di danau dan sungai, bisa langsung menghubungi aparat kepolisian terdekat,” katanya.dkw

Kemarau Tidak Berdampak Serius

16-10-2011 00:00 
Harian Umum Tabengan, PALANGKA RAYA Masyarakat Kalteng bisa bernapas lega. Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kalteng Mursyid Marsono menyatakan, dampak musim kemarau beberapa bulan terakhir ini yang dibarengi peristiwa kebakaran hutan, lahan, dan pekaranagan tidak berdampak serius terhadap lingkungan hidup, sosial, ekonomi, maupun kesehatan.
“Meski tidak berdampak signifikan, kebakaran tersebut telah mengganggu kehidupan flora dan fauna serta ekosistem lain di lokasi kebakaran hutan, lahan, dan pekarangan,” kata Mursyid didampingi Wilson, Kepala Sub Bidang Pengendalian Air, Tanah, Laut, dan Udara BLH Kalteng di ruang kerjanya, Jumat (14/10).
Namun demikian, pihaknya belum mengetahui secara pasti jumlah kerugian selama kemarau berlangsung maupun akibat kebakaran hutan, lahan, dan pekarangan di wilayah Kalteng. Ia menyatakan, jika dibandingkan kemarau pada 2006 lalu dengan peristiwa tahun ini, dampak yang ditimbulkan mengalami penurunan.
Menurut dia, hal itu membuktikan kerjasama semua instansi terkait berjalan maksimal. Penurunan dapat terlihat pada dampak kebakaran tahun 2006 lalu sekolah sempat diliburkan, aktivitas penerbangan di Bandara Tjilik Riwut ditutup, dan banyaknya keluhan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang dialami masyarakat.
Sedangkan yang terjadi pada tahun ini, sekolah tidak sampai diliburkan, penerbangan dinilai masih cukup lancar, dan meski sempat menggunakan masker namun tidak berlangsung lama.
Untuk mengantisipasi peningkatan kerugian yang dialami berbagai sektor akibat musim kemarau yang disertai kebakaran hutan, lahan, dan pekarangan, perlu ditempuh langkah antisipatif dan meningkatkan  sosialisasi kepada masyarakat.
Selain itu, meningkatkan fasilitas dan sarana prasarana regu pemadam kebakaran agar mampu bekerja efektif dan efisien. “Terpenting, perlu mendapatkan dukungan dan kesadaran masyarakat agar tidak melakukan aktivitas pembakaran lahan saat musim kemarau,” katanya.dkw

 

Minggu, 16 Oktober 2011

REDD+ Dinilai Rawan Konflik

Harian Umum Tabengan, PALANGKA RAYA - Kalteng dengan karakteristik hutan dan gambut menjadi wilayah yang diminati para pihak untuk dijadikan proyek percontohan REDD maupun bisnis perdagangan karbon. Jika tidak transparan, Walhi menilai proyek ini rawan konflik.
Hal itu disampaikan Direktur Walhi Kalteng Arie Rompas dalam diskusi publik tentang potret deforestasi hutan dan upaya perlindungan atas hak-hak masyarakat adat/lokal dalam proyek pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, di Hotel Luwansa, Palangka Raya, Minggu (18/9).
Menurutnya, proyek tersebut berpotensi konflik karena memiliki syarat dengan bentuk penguasaan wilayah atas kawasan seperti di Kalteng juga telah banyak terjadi konflik sosial yang diakibatkan oleh industri ekstraktif seperti perkebunan sawit, tambang dan juga HPH/HTI. "Telah banyak menimbulkan persoalan konflik sosial akibat perkebunan dan pertambangan, bahkan telah mendorong pelanggaran HAM," ujarnya.
Diutarakannya, provinsi Kalteng merupakan salah satu wilayah yang memiliki karakteristik hutan dan gambut sebagai sumber penyimpanan karbon, sehingga menjadi wilayah yang diminati oleh para pihak untuk di jadikan wilayah proyek percontohan REDD maupun bisnis perdagangan karbon.
Salah satu proyek yang digagas di Kalteng dan sudah melakukan aktivitasnya adalah proyek Kalimantan Forest Climate Patnership (KFCP) yang merupakan proyek kerja sama antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Australia.
Dijelaskannya, dalam program Indonesia-Australia Forest Climate Partenrship (IAFCP) sebagai upaya untuk mendukung usaha dalam perjanjian internasional UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change) yang terkait dengan pengurangan emisi gas rumah kaca melalui REDD, berlokasi di wilayah Kecamatan Mantangai dan timpah dengan 14 desa/dusun seluas 120 ribu hektare.
Dengan ditunjuknya Kalteng sebagai pilot provinsi program REDD+ pada akhir 2010 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), banyak tantangan yang harus dihadapi. Terutama tekanan deforestasi yang masih sangat tinggi dengan perizinan untuk sawit, tambang dan HPH/HTI yang mencapai 80 persen dari total wilayah Kalteng akan terus mendorong deforestasi dan justru berbalik terhadap upaya pengurangan emisi yang dicanangkan oleh SBY sebesar 26 persen.
Kemudian, sambung dia, di sisi lain masuknya proyek-proyek REDD+ di Kalteng tidak diketahui masyarakat di sekitar kawasan hutan karena informasi yang sangat minim. Padahal masyarakat yang hidup di sekitar hutan adalah pihak yang paling berkepentingan tetapi tidak menjadi pemeran utama dalam proyek REDD+.
Dalam diskudi itu, tenyata bukan hanya masyarakat Kalteng yang belum memahami tentang pelaksanaan REDD+, masyarakat dari beberapa daerah lain yang pernah mendapatkan program REDD+ seperti Papua, Aceh, dan Sulteng juga belum memahami sepenuhnya.
Warga Papua Barat Pesau, mengaku bingung dengan keberadaan program REDD+, karena masyarakat tidak mengetahui apa makna, maksud, keutungan, dan bagaiman mekanisme pelaksanaan di lapangan. Hal serupa disampaikan warga Aceh Julpiter Adman bahwa program REDD+ ini hanya baik dimata pemerintah. “Bahkan saya menilai program ini adalah model penjajahan kapitalisme, mengingat kalau negara maju ingin membatu kenapa harus ada perjanjian dan lain sebaginya,” katanya.
Arie Rompas mengharapkan diskusi ini menghasilkan beberapa alternatif di antaranya melakukan lobi langsung terhadap pemerintah maupun negara-negara maju dan mengampanyekan melalui media massa dengan harapan agar pemerintah dapat mendengar keluhan dari masyarakat dan membuat kebijakan yang berpihak kepada mereka.dkw/ant

Tim Pemburu Api Kerja Siang-Malam

Harian Umum Tabengan,  PALANGKA RAYA - Penanggulangan kebakaran hutan dan lahan yang menimbulkan kabut asap di Kalteng, selain dilakukan melalui operasi hujan buatan oleh Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), juga dengan cara operasi darat. Bahkan pada malam hari juga tetap melakukan pemadaman.
Mugeni, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalteng di Sekretariat Operasi Darat Posko Pengendalian Kebakaran Hutan, Lahan, dan Perkarangan Kalteng 2011, Senin (3/10), mengatakan, kebakaran saat ini cenderung terjadi pada malam hari atau sudah berubah pola agar tidak terpantau regu pemadam.
Operasi udara sudah dilaksanakan sejak Sabtu, 16 September lalu dan direncanakan hingga 16 Oktober 2011 mendatang. Hanya dalam pelaksanaannya terkendala minimnya ketersediaan awan comulus sebagai modal menyemai garam agar tercipta hujan. Dengan kendala tersebut, operasi darat lebih dioptimalkan, khususnya di wilayah Palangka Raya dan sekitarnya, mengingat di kabupaten lain juga sudah didirikan posko serupa.
Bahkan, sejak 22 September lalu, pemadaman juga dilakukan hingga malam hari. “Makanya ada tiga Manggala Agni yang ditugaskan di posko ini, dari Tagana ada 1 regu, tim pemadaman kebakaran dari Dinas Kehutanan Kalteng, dan pemadam kita,” katanya.
Lebih lanjut Mugeni mengatakan, seminggu sebelum 30 September lalu, kondisi cukup kering, bahkan dalam sehari lebih dari 200-300 hotspot, mengingat data itu hanya terpantau saat satelit NOAA berotasi di atas wilayah Kalteng. Sementara pada sore hari hotspot tersebut tidak terpantau lagi. Begitu juga dengan kebakaran yang terjadi cukup banyak. Pihaknya mengaku kewalahan menangani kondisi tersebut, sehingga kemungkinan operasi ini dilakukan hingga 16 Oktober mendatang, mengingat pada pertengahan Oktober diperkirakan sudah mulai masuk musim hujan.
Terpisah, Andreas Dody, Bidang Deteksi Dini Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalteng mengatakan, meski sebaran hotspot pada 1 dan 2 Oktober Kota Palangka Raya 0 titik, namun kabut asap tetap menyelimuti ibukota Kalteng tersebut. Kondisi ini disebabkan kebakaran yang terjadi di Pulang Pisau, Kapuas, dan beberapa daerah di Kalsel terbawa angin ke Palangka Raya.
Sesuai data satelit NOAA, 1-2 Oktober terdapat 71 titik, tertinggi berada di Pulang Pisau 24 titik, disusul Kapuas 14 titik, dan Katingan 9 titik. Masing-masing Palangka Raya, Kabupaten Barito Utara, dan Barito Timur selama 2 hari tersebut tidak terdapat titik panas. “Meski demikian, tetap perlu diwaspadai karena pola pembakaran lahan oleh masyarakat masih terjadi hingga saat ini,” katanya, kemarin.
Senada disampaikan Heru Widodo, Kepala Bidang Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pembuatan Hujan BPPT Pusat. Meski 0 titik, kata Heru, namun Palangka Raya yang merupakan pusat ekonomi Kalteng tetap menjadi prioritas dalam operasi hujan buatan. Sejauh ini, kendala awan tipis mengakibatkan penyemaian tidak menghasilkan hujan deras dan merata. Tapi, Heru menilai upaya mereka berhasil karena beberapa hari terakhir titik api menurun dibanding jumlah pada September lalu yang mencapai ratusan.
Berdasar pantauan udara, kabut asap merupakan kiriman dari Kalsel yang juga tengah dilanda kebakaran lahan dan pekarangan. Bahkan, Kepala BPBD Kalsel telah meminta Pemerintah Pusat agar melakukan operasi hujan buatan di Kalsel untuk memadamkan dan menurunkan jumlah titik api.
Meski demikian, hal ini tergantung dengan keputusan Pemerintah Pusat. Menurutnya, Kalteng masih memerlukan hujan buatan karena kebakaran pada lahan gambut belum sepenuhnya padam. Beberapa meter di kedalaman gambut masih menyimpan bara dan mengepulkan asap tebal. Selain itu, pembakaran lahan untuk kepentingan pertanian masih dilakukan masyarakat.

Kualitas Udara Membaik
Sementara itu, seiring hujan yang mulai mengguyur Palangka Raya, kabut asap semakin berkurang. Hal ini juga berdampak positif terhadap kualitas udara. Menurut hasil uji laboratorium terhadap indeks standar pencemaran udara (ISPU) dan konsentrasi pencemar udara yang dilakukan Laboratorium Lingkungan BLH Kota Palangka Raya, kualitas udara dengan parameter kritis PM10 (partikel berukuran kurang dari 10 mikron) pada 3 oktober, menunjukkan nilai ISPU 85.
Bahkan pada 2 hari lalu, nilai ISPU sempat turun hingga 65, turun dibanding sehari sebelumnya yang mencapai 82. Padahal, pada Kamis (29/9), konsentrasi pencemaran udara di Kota Palangka Raya sempat menujukkan angka tidak sehat, karena nilai ISPU berada pada angka 101.
Pada kategori sedang, udara tidak berpengaruh pada kesehatan manusia, tetapi berdampak pada tumbuhan. Namun pada kondisi tidak sehat, udara dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia yang sifatnya merugikan.
Dari pantauan Tabengan, setelah sempat turun hujan buatan di beberapa wilayah pada Sabtu (1/10), kondisi kabut asap sedikit berkurang, terutama waktu pagi hari, dari pukul 06.00 WIB hingga pukul 10.00 WIB. Tidak seperti hari sebelumnya, kabut asap cukup mengganggu aktivitas warga.
Di pihak lain, sebagian warga mengaku tetap khawatir, sebab kebakaran bisa muncul setiap saat dan memunculkan kabut asap. “Kalau kemarau masih berlanjut, asap masih bisa muncul lagi. Sebab, kebakaran hutan pasti akan tetap terjadi,” kata Hermanus, salah seorang pengusaha di Palangka Raya, kemarin. dkw/adn